Oleh : Ustadz Sunardi (Ketua MPD PKS Kabupaten Bekasi)
Terkadang sebagian kita lebih sering malu kepada omongan orang dibanding malu pada Allah Ta’ala. Akhirnya syetan menjebak dirinya dengan melanggar larangan Allah, hanya demi mendapat kesan hebat dan keren di mata masyarakat.
Ia tidak ingin jadi omongan orang, karena akan membuat hati galau dan gelisah. Malu kepada Allah dikalahkan oleh rasa malunya kepada manusia.
Diriwayatkan dari Abdullah Bin Mas’ud ra. Beliau berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda,
استحيوا من الله حق الحياء قال فقلنا يا نبي الله انا نستحي قال ليس ذلك استحياء ولكن من استحيا من الله حق الحياء فليحفظ الرأس وما حوى والبطن وما وعى وليذكر الموت والبلا ومن اراد الاخرة ترك زينة الحياة الدنيا واثر الاخرة على الاولى فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله تعالى حق الحياء
“Malulah kalian pada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya. Para sahabat berkata, Wahai nabiyallah, kami sudah memiliki rasa malu. Nabi bersabda lagi, bukan malu itu yang dimaksud. Akan tetapi barangsiapa yang benar-benar malu pada Allah Swt., maka niscaya dia akan menjaga kepala dan sesuatu yang dikandungnya, dan menjaga perut beserta yang ditampungnya. Dia pasti akan selalu teringat pada kematian dan kebinasaan. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka ia akan meninggalkan gemerlap kehidupan dunia. Ia akan lebih memilih kehidupan akhirat. Barangsiapa yang melakukan itu semua, berarti ia malu pada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya malu.
الإيمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من الإيمان )) [أخرجه مسلم].
“Iman terbagi lebih dari tujuh puluh cabang, dan sikap malu satu cabang dari iman.” (HR Muslim)
Sebagian orang mendadak galau saat menghadapi kondisi-kondisi seperti, anak belum nikah-nikah padahal sudah kepala tiga, dan rekannya terus bertanya,”Kapan anakmu menikah..? atau belum juga dikaruniai keturunan padahal sudah lama berumah tangga. Atau hidup pas-pasan sementara tetangga kanan kiri sudah berubah sejak puluhan tahun yang lalu, dan kondisi lain yang membuat hati mengalami kegalauan.
Atau Galau orang lain gelarnya berjejer panjang di depan dan di belakang, sementara kita tak ada satupun. Galau tak mendapatkan posisi, padahal menurutnya dia layak menempati posisi tertentu. Yang repot ketika kegaulauan ini membuat kita tidak percaya diri dalam aktifitas dakwah.
Aktifis dakwah bukanlah galau karena hal-hal demikian.Aktifis dakwah galau kalau subuhnya kesiangan, ibadah masih berantakan, tilawah belum maksimal, kontribusi buat jamaah belum optimal, belum bisa gemetar saat Asma Allah disebut, belum bisa tepat waktu hadir pertemuan padahal hanya via zoom meeting. Galau jika belum melaksanakan kewajiban berinfak dan kewajiban maaliyah lainnya, galau jika belum bisa menambah ilmu terkait kapasitas fikriyah, galau kalau masih lebih mengutamakan dunia ketimbang urusan dakwah.
Lebih galau lagi dengan kehidupan kematian. Galau saat menghadapi alam barzakh, dan gelisah saat kehidupan akhirat, apakah termasuk orang yang beruntung atau merugi.
Ramadhan membentuk diri kita menjadi pribadi yang bersyukur. Karena hanya dengan rasa syukur yang sebenarnya kita mampu menghilangkan kegalauan yang ada dalam diri.
Ramadhan mengajarkan kemudahan kepada kita. Janganlah galau karena nikmat Allah begitu banyak kita rasakan syukurilah.
…..Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”[ QS 2 : 185 ]
Dalam masalah rezeki, kita orang beriman harus ingat bahwa keberkahan justru hadir dari dari rasa syukur atas seluruh karunia yang telah Allah berikan kepada kita. Rasa syukur dengan kesiapan berbagi. Bukan seberapa panjang deret gelar di dedan dan di belakang nama kita, yang terpenting seberapa manfaat dan seberapa bijak kita dengan ilmu yang kita dapatkan.
Bukan pula dari apa profesi kita, bukan pula dari besarnya penghasilan kita, bukan pula dari melesatnya karir kita, bukan dari membesarnya usaha kita. Keberkahan justru dari rasa syukur kita dan adanya tekad yang kuat dalam diri, dan memastikan tak akan pernah ada harta yang haram yang kita berikan kepada anak dan isteri kita. Jika pun terlanjur maka selayaknya bertaubat, membersihkan diri dan memperbaiki diri, sebelum ajal menjmeput.
Karena Allah cinta kepada orang-orang yang bertaubat dan membersihkan diri. Firman Allah :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” ( QS. 2 : 222)
Ramadhan membersihkan iman kita dan membersihkan hati kita dari kegaulauan yang tidak pada tempatnya. Karena Ramadhan membentuk kita menjadi pribadi yang ridha dengan ketentuannya. Sebagaimana kita ridha melaksanakan shaum selama satu bulan penuh.
Sebagai seorang anak kita mengharap ridha dari orang tua, maka kita berbakti kepada kedua orang tua, sebagai isteri mengharap ridha suami maka ia berbakti suami dengan baik-baiknya, karena keduanya syurga baginya.
Sebagai seorang hamba maka kita menghrap ridha Allah dengan taat dan patuh atas perintahNya. Sikap ridha inilah juga yang akan menghilangkan kegalauan dalam hati.
Ramadhan dengan tilawah Qur’an yang benar membuat hati kita menjadi terang, seterang mentari pagi yang bersinar menyinari bumi. Seterang itulah kita seharusnya kita memandang kehidupan dan masa depan dengan penuh optimisme menyambut kemenangan dakwah.
Karena Al Qur’an adalah cahaya yang menerangi. Tak ada kegalauan yang berarti jika hati kita tenang dengan Al Qur’an. Maka kualitas tadabbur [ memahami dan merenungkan ] kita terhadap Al Qur’an menjadi penting setelah kualitas tilawah kita terbenahi.
Allah berfirman :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. An-Nisa: 82). أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا “Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24).
Semoga kita bukan termasuk orang selalu galau dalam urusan dunia. Karena kita orang beriman yang meyakini tujuan hidup kita adalah akhirat. Dan kontribusi apapun yang kita berikan dalam jama’ah ini adalah dalam rangka menggapai ridha dan JannahNya. Aamiiin.
Wallahu ‘alam bi shawwab.















