
Oleh : Ustadz Sunardi Ketua Majlis Pertimbangan Daerah (MPD) PKS Kabupaten Bekasi
Di penghujung Ramadhan, dengan doa, munajat dan istighfar yang kita lakukan semoga ampunan Allah dapat kita raih, dan kemudian Allah memberikan kepada kita kenikmatan yang baik di dunia, dan Allah menganugerahkan keutamaanNya kepada kita di akhirat. Firman Allah :
وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ ۖ
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. [ Hud : 3 ]
Lidah adalah salah satu dari nikmat Allah. Manusia wajib memeliharanya dari dosa dan kemaksiatan, menjaganya dari ucapan-ucapan yang bisa menimbulkan penyesalan dan kerugian. Lidah akan menjadi saksi pada hari kiamat. “
Allah SWT berfirman :
“Pada hari ketika lidah, tangan dan kaki menjadi saksi atas mereka terhadap apa-apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. 24:24)
Lidah juga termasuk nikmat Allah SWT yang sangat besar bagi manusia. Kebaikan yang diucapkannya akan melahirkan manfaat yang luas dan kejelekan yang dikatakannya membuahkan ekor keburukan yang panjang. Karena dia tidak bertulang, dia tidak sulit untuk digerakkan dan dipergunakan. Dia adalah alat paling penting yang bisa dimanfaatkan oleh syaithan dalam menjerumuskan manusia.
Dalam hadits disebutkan :
“Sesungguhnya seorang hamba benar-benar mengucapkan kata-kata tanpa dipikirkan yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka yang jaraknya lebih jauh antara timur dan barat”. (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Hurairah)
Dan lidah juga merupakan sarana mempermudah manusia menyampaikan maksud yang diinginkan kepada orang yang diajak bicara sehingga dengan itu orang yang diajak bicara akan memahami maksud dari orang tersebut. Jika lisan tidak ada maka seseorang akan sulit berbicara dan menyampaikan sesuatu yang diinginkan kecuali dengan bahasa isyarat.
Di penghujung Ramadhan sudahkah lisan kita berubah…? Sudahkah lisan kita terkontrol..? Sudahkah lisan kita mampu mengerem dengan rem yang semakin pakem, karean kanvasnya sudah dibubut dengan ibadah shaum. Atau masih gak ada pengaruh…masih seperti yang dulu sebelum
Ramadhan. Yuk… kita bermuhasabah. Untuk mengukur salah satu keberhasilan ibadah shaum kita.
Masihkah lisan kita seperti di bawah ini….?
- Alkalaamu fimaa laa ya’nihi (Ungkapan yang tidak berguna)
Nabi Saw. telah bersabda: “Barang siapa mampu menjaga apa yang terdapat antara dua janggut dan apa yang ada di antara dua kaki, maka aku jamin dia masuk surga. ( Muttafaq ‘alaih, dari Sahl bin Sa’ad)
Bila seseorang telah mengerti bahwa ia akan dihisab dan dibalas atas segala ucapan lidahnya, maka dia akan tahu bahaya kata-kata yang diucapkan lidah, dan dia pun akan mempertimbangkan dengan matang sebelum lidahnya dipergunakan. Allah berfirman :
“Tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan, kecuali di dekatnya ada malaikat Raqib dan ‘Atid.” (QS.Qoof: 18)
- Fudhulul Kalaam (Berbicara yang berlebihan)
Lidah memiliki kesempatan yang sangat luas untuk taat kepada Allah dan berdzikir kepadanya, tetapi juga memungkinkan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan berbicara berlebihan dan ini racun bagi lisan kita. Semestinya kita mampu mengendalikan lidah untuk berdzikir dan taat kepada Allah, sehingga bisa meninggikan derajat kita. Sedangkan banyak berbicara tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hati, dan menjauhkan diri dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Tiada akan lurus keimanan seorang hamba, sehingga lurus pula hatinya, dan tiada akan lurus hatinya, sehingga lurus pula lidahnya. dan seorang hamba tidak akan memasuki syurga, selagi tetangganya belum aman dari kejahatannya.”
Allah telah memberikan batasan tentang pembicaraan agar arahan pembicaran kita bermanfaat dan berdampak terhadap sesama, sebagaimana firman-Nya:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi shodaqoh atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (Annisa :114)
- Al-khoudh fil baathil (Ungkapan yang mendekati kebatilan dan maksiat)
Orang-orang sufi lebih tekun menggunakan mulutnya untuk berdzikir dari pada berbincang-bincang, memperingatkan dengan prihatin; Manusia paling sering tertimpa bahaya dan paling banyak mendapatkan kesusahan adalah lidahnya terlepas dan hatinya tertutup. Ia tidak dapat berdiam diri, dan kalau berkata tidak bisa mengungkapkan yang baik-baik. - Al-Miraa’ wal-jidaal (Berbantahan, bertengkar dan debat kusir).
Jidaal adalah menentang ucapan orang lain guna menyalahkan secara lafadz dan makna. Perdebatan dalam isu-isu agama dan ibadah tidak banyak faedah yang didapat kecuali jika dilangsungkan dengan etika debat yang benar, saling menghormati antar peserta dan dengan kekuatan ilmiah yang meyakinkan. Biasanya debat yang tidak dikawal oleh akhlak lebih banyak mengundang kepada pertengkaran dan permusuhan yang merugikan.
Tidak dinafikan debat merupakan salah satu uslub (cara) yang sangat efektif dan berkesan dalam menyebarkan Islam, dakwah dan kebenaran, tetapi ia adalah langkah ketiga dan terakhir, yaitu setelah terjadi kebuntuan dimana pendekatan dengan hikmah dan nasihat/pengajaran yang baik tidak berhasil. Itupun dilangsungkan dengan akhlak dan adab yang tinggi.
Allah berfirman :
“Serulah ke jalan Tuhanmu wahai Muhammad dengan hikmat kebijaksanaan dan nasihat pengajaran yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik” (Al-Nahl: 125).
Semoga Ramadhan dapat mengikis kebiasaan buruk kita selama ini, terkait dengan kebiasaan dalam lisan yang buruk dan tidak terkontrol. Sehingga yang keluar dari lisan kita adalah qaulan Kariima dan qaulan Ma’rufa.
Wallahu ‘alam bi showwab















