
Ramadhan membentuk diri kita menjadi pribadi yang memiliki karakter luar biasa. Karakter yang akan membuat kita selamat dalam menapaki kehidupan. Inilah sikap ridha terhadap ketentuan dan qadha dari Allah Ta’ala. Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً)
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya.” [ HR. Muslim ]
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang.
Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”. [ Syarh Shahih Muslim ]
Keridhaan akan membukakan jalan pada pintu keselamatan. Keridhaan membuat hati menjadi semakin bersih dari tipu daya kebusukan dan kedengkian. “Karena hanya orang yang berhati bersih sajalah yang selamat dari azab Allah. Hati yanh bersih adalah yang jauh dari syubhat dan syahwat, dari menyekutukan Allah, dari jerat-jerat Iblis yang menyesatkan.” Demikian DR. Aidh Al Qarny menjelaskan dalam salah satu kitabnya.
Semakin seorang hamba ridha kepada ketentuan Allah, maka semakin bersih hatinya. Kotoran hati, kedengkian, hasad, dan tipu daya merupakan kaitan dari sikap tidak ridha terhadap apa yang Allah tetapkan. Karena sikap ridha adalah kebersihan, kelurusan, kemuliaan hati, menerima dan lapang dada jauh dari penolakan terhadap ketentuan Allah.
Ibarat pohon, ridha adalah pohon yang baik, yang disirami dengan air keikhlasan dan ditanam dalam kebun tauhid. Akarnya adalah keimanan, dahan-dahannya adalah amal saleh, dan buahnya sangat manis.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.”Yang akan mencicipi rasa manisnya iman adalah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai Rasul.
Kebalikan dari sikap ridha adalah sikap tidak menerima. Sikap ini akan membuka pintu keraguan kepada Allah, kepada Qadha’Nya, qadarNya, kepada hikmah dan kepada Ilmu-Nya. Sikap tidak ridha adalah akibat Dha’ful Iman. Imannya telah teracuni dan tercemar dengan polutan syubhat dan syahwat.
Dalam hati orang yang tidak ridha atau tidak menerima Qadha dan Qadr Allah, tersimpan perasaan dendam dan terselip amarah, walaupun tidak mengungkapkannya. Dalam fikirannya ada pertanyaan yang muncul,”Mengapa begini…? Mengapa begitu…? Mengapa semua ini bisa terjadi..?
Padahal jika saja sikap ridha ada pada dirinya, Allah akan memenuhi hatinya dengan ketenangan, kekayaan, rasa aman dan qana’ah. Allah pun akan menjadikan hatinya penuh cinta, inabah dan tawakal kepadaNya. Sedang mereka tidak memiliki sikap ridha hatinya akan penuh dengan kebencian, kemungkaran, rasa marah, dan fikirannya penuh dengan hal-hal yang negative.
Banyak sikap ridha yang harus kita tumbuhkan dalam diri. Diantaranya adalah sikap Ridha orang tua terhadap anak. Ridha Allah bergantung pada ridha orang tua sesuai sabda Rasulullah Shalalahu ‘alaihi wa salam, “Ridha Allah Subhana wa Ta’ala tergantung kepada keridhaan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.” (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim).
Ridha suami kepada istrinya. “Setiap istri yang meninggal dunia dan diridhai oleh suaminya maka ia masuk surga.” (HR at-Tirmidzi). Isteri sangat membutuhkan ridha suami jika ingin mendapatkan syurga.
Ridha dalam transaksi jual beli. Disebutkan dalam firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan ridha di antaramu.” (QS an-Nisaa: 29).
Begitupun dalam muamalah hutang piutang, jangan sampai saudara kita menjadi tidak ridha dengan sikap kita yang menunda-nunda pembayaran, juga dalam kaitan kewajiban personal maupun dalam kewajiban terhadap institusi yang kita berkewajiban melaksanakannya.
Keridhaan akan membuahkan rasa syukur yang merupakan level keimanan yang tinggi dan merupakan hakikat dari keimanan itu sendiri. Dalam tahapan iman, rasa syukur adalah puncaknya. Orang yang tidak ridha terhadap Qadha dan QadarNya, penciptaanNya, pengaturanNya, terhadap yang diambil dan yang diberikanNya, tidak akan bisa bersyukur kepada Allah.
Maka di hari-hari terakhir Ramadhan ini, yuk kita evaluasi dan kita muhasabah sikap ridha kita selama ini, agar kita mendapat keselamatan dalam kehidupan dunia akhirat. Keridhaan menyehatkan hati, menenangkan jiwa, dan memberi semangat untuk meraih kemenangan dakwah.
Wallahu’alam bi showwab.















