Aku adalah seorang ibu muda dengan empat anak: tiga putra dan satu putri. Di sela peranku sebagai pegawai pemerintahan dan sedang menjalani tugas belajar S3, sering kali aku berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu aku merenung, bagaimana aku bisa sampai di titik ini?, karir lancar anak-anak sehat rumah rapi keluarga harmonis.
Jawabannya adalah karena ibuku.
Ibuku orang yang kuat, meskipun hanya seorang pegawai negeri dengan gaji pas pasan ibu sanggup membesarkan kami bertiga sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar. Dengan kerja keras Ibu berhasil mengantarkan kami sampai kami menyelesaikan S1. Meskipun beban hidup lumayan berat ibu tidak pernah mencapai sandaran baru setelah bapak meninggal.
Ibuku orang yang gesit tidak betah tinggal diam, tak pernah terlihat duduk istirahat, namun selalu sehat. Menurut ceritanya, masa kecil ibu tinggal di kampung dan kegiatannya sehari-hari sepulang sekolah adalah nyabit rumput untuk makan kambingnya. Ibu juga biasa memandikan kambing di sungai, biasa menumbuk padi sejak masih di sekolah dasar. Di usianya yang memasuki 76 tahun ibuku masih tetap gesit
Sejak aku kecil, ibu tidak banyak memberi ceramah. Ia lebih sering memberi kepercayaan. Dan rupanya, itulah pelajaran terbesar dalam hidupku. Aku masih ingat betul, kelas 4 SD, saat aku dengan wajah polos tapi tekad bulat meminta izin kepadanya,
“Bu, aku mau mencuci bajuku sendiri.”
Saat itu kami belum mampu membeli mesin cuci. Mencuci pakaian adalah pekerjaan berat.
Awalnya ibu menolak
“Kalau kamu nyuci sendiri nanti jadi boros detergen dan boros air bisa bisa tagihan PDAM melonjak.
“Tapi aku ingin belajar nyuci bu, aku iri melihat temanku kalau mendapat tugas piket mencuci taplak meja kelas mereka mencuci dengan tangannya sendiri”.
Akhirnya…, Ibu menatapku sejenak, lalu mengangguk. Sejak hari itu, aku belajar bahwa kemandirian bukan soal mampu atau tidak, tetapi soal keberanian mencoba dan tanggung jawab atas pilihan sendiri.
Ketika kelas 1 SMP, aku kembali mengajukan permintaan yang bagi sebagian orang mungkin dianggap terlalu dini, pulang sendiri sehabis menggunakan kendaraan umum dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam perjalanan. Aku ingin belajar mandiri.
Sekali lagi, ibu memberi izin, tentu dengan doa yang tak pernah putus. Aku pulang ke kampung halaman setelah mudik ke rumah nenek dan kakek, sendirian naik bus. Aku minta ijin pulang belakangan karena ingin pulang sendirian, belajar mandiri tidak bersama rombongan keluarga besar. Dari perjalanan itu, aku belajar membaca dunia, tentang kehati-hatian, keberanian, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Kini, saat aku berdiri sebagai ibu dari empat anak, aku baru benar-benar memahami kebesaran hati ibuku. Ibuku masih hadir di tengah tengah kami dengan kondisi kesehatan yang secara umum baik, kecuali lututnya yang sering kaku dan linu.
Akupun bisa menjalani berbagai peran saat ini dengan bantuan ibu. Kadang di saat aku banyak tugas sebagai mahasiswa ibu membantu mengawasi putriku yang berusia 3 tahun. Ibu membantu meringankan tugas ku tanpa membiarkan aku bergantung sepenuhnya. Aku belajar dari ibu bahwa memberi kepercayaan kepada anak bukan berarti melepas tanpa peduli, tetapi menguatkan dari jauh dengan doa dan keyakinan.
Dalam lelahnya kuliah, dalam sibuknya pekerjaan, dan dalam riuhnya rumah dengan empat anak, aku bersyukur. Bersyukur pernah dibesarkan oleh seorang ibu yang tidak memanjakan kelemahanku, tetapi menumbuhkan kekuatanku. Terimakasih ya Allah atas karunia ini.
Jika hari ini aku mampu berdiri tegak, mengurus keluarga, bekerja, dan belajar tanpa kehilangan arah, itu karena ibuku telah mengajariku sejak dini. Menjadi mandiri, tanpa kehilangan rasa hormat, menjadi kuat tanpa harus keras dan melangkah jauh, tanpa melupakan rumah.
Dari ibu aku belajar bagaimana aku harus bersikap terhadap anak-anakku terutama putriku aku ingin mewariskan pelajaran yang sama:
bahwa kepercayaan adalah bentuk cinta paling sunyi, namun paling menguatkan.
Do’a yang selalu aku panjatkan untuk ibu, semoga Allah selalu memberikan kekuatan dan kasih sayangNya pada ibuku.
Tulis ini dibuat dalam rangka memenuhi ajakan menulis untuk Hari Ibu
Penulis :
Imas Rosmiati ( Tambun Selatan)















