::
DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi -
Website DPD PKS Kabupaten Bekasi
Mengenal PKS

Santri, Jiwa yang Tertarbiyyah Ilahiyah



Seketika telepon dari klien aku tutup. Urusan pekerjaan di luar jam kantor sudah bukan prioritas. Karena telepon dari anakku di pondok lebih utama dan lebih penting. Sepenting apa, coba alami sendiri. Saat seorang ibu yang mencoba belajar arti keseimbangan: antara pencapaian lahir dan keberkahan batin. Aku percaya, madrasah pertama seorang anak adalah ibunya (madrasatul ula fil ummi). Maka ketika seorang anak memilih jalan pesantren, sejatinya ia sedang melanjutkan tarbiyah yang telah dirintis dari rumahnya.

Santri, di usia mereka yang masih remaja, berada di masa emas untuk belajar lebih dalam tentang kehidupan. Mereka bukan hanya belajar untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk menjadi bagian dari masyarakat yang berjiwa sosial. Teman di pondok bukan sekadar teman sekamar atau sekelas, tapi saudara seiman yang saling menguatkan di kala lelah, saling menasihati dalam kesabaran, dan saling meneladani dalam kebaikan. Di pesantren, mereka belajar arti lapang dada, menerima perbedaan, dan memahami bahwa keikhlasan adalah bekal utama dalam menuntut ilmu.

Nilai-nilai tarbiyah itu terwujud nyata dalam muwashofat, sifat-sifat pembentuk pribadi seorang santri. Bagi mereka, menjaga aqidah yang bersih (salimul ‘aqidah) bukan sekadar hafalan akidah di kelas, tapi juga keteguhan hati saat diuji dengan keraguan, tetap yakin kepada Allah ketika jauh dari rumah. Akhlak yang kokoh (matinul khuluq) tampak dalam hal-hal sederhana: ketika santri membungkuk sopan menyapa gurunya. Apakah ini sebuah kesalahan? Asal tidak berlebihan. Tanyakan pada nurani anda sendiri. Bergantian mencuci piring tanpa disuruh, atau menenangkan temannya yang sedang rindu keluarga.

Di sela rutinitas yang padat, mereka melatih fisik yang kuat (qawiyyul jismi) bukan hanya lewat olahraga, tapi juga lewat kesabaran bangun subuh di udara dingin, berjalan kaki menuju masjid, dan berdisiplin menjaga kebersihan. Sementara teratur dalam urusan (munazham fi syu’unihi) mereka wujudkan saat membagi waktu antara belajar, ibadah, dan pelayanan asrama, atau menjaga adik adiknya di kelas bawahnya. Tanggung jawab tidak hanya diri, namun posisi sebagai kakakpun disandang oleh mereka. Semua berjalan ada dan tanpa  pengawas, karena rasa tanggung jawab sudah terpatri dalam jiwa.

Ketika ada teman jatuh sakit, tanpa diminta mereka akan menjaga dan menemani, di situlah terlihat jiwa bermanfaat bagi sesama (nafi’un li ghairihi) tumbuh alami. Bukan karena ingin pujian, tapi karena mereka paham: tangan yang menolong adalah tangan yang diberkahi. Dan semua itu menjadi bukti bahwa muwashofat bukan sekadar teori yang diajarkan di papan tulis, tapi nilai-nilai hidup yang mereka praktikkan setiap hari di antara kesederhanaan pondok.

Di tengah sorotan publik, pesantren tetap menjadi benteng moral yang kokoh. Kasus di sebuah pondok ternama beberapa waktu lalu, misalnya, ketika ujian yang melibatkan pondok harus berurusan dengan pihak hukum, banyak yang bertanya: apakah pesantren akan tutup? Tidak. Jiwa-jiwa tulus dan ikhlas itu tetap Allah jaga marwahnya. Karena pesantren bukan sekadar bangunan, tapi ruh perjuangan yang hidup dalam hati para santri dan pengasuhnya. Dimanapun godaan dan ujian datang, pesantren selalu punya cara untuk kembali berdiri dengan doa, dengan kesabaran, dan dengan keikhlasan yang tak bisa dibeli.

Begitu pula peristiwa di salah satu pesantren di Sidoarjo akhir akhir ini, ketika beberapa santri meninggal karena robohnya bangunan. Dunia mungkin melihat musibah dari sisi fisik semata, tapi mereka yang beriman melihat dengan mata hati. Lantunan sholawat yang mengiringi kepergian para santri kecil itu menjadi saksi bahwa mereka wafat dalam keadaan mulia, insyaa Allah. Mereka yang wafat sedang menuntut ilmu, sedang beribadah. Tidak ada publikasi foto buruk tentang mereka, tidak ada narasi murahan. Yang ada hanyalah rasa ketuhanan yang mengalir dari lisan-lisan yang berdzikir. Subhanallah, beginilah indahnya pesantren: bahkan dalam duka pun, yang tampak tetap cahaya iman.

Negeri ini telah menyaksikan betapa besar manfaat pesantren. Dari rahim pesantren lahir para pemimpin, pendidik, ulama, aktivis, dan profesional yang mencintai bangsanya dengan cara yang tenang dan tulus. Mereka adalah santri. Mereka yang tertarbiyyah secara ilahiyah tidak hidup untuk mengejar kepentingan dunia sesaat. Mereka bekerja, berjuang, dan berkarya dengan keyakinan bahwa semua yang mereka lakukan adalah bagian dari ibadah  bekal menuju kehidupan yang lebih kekal setelah kematian datang menjemput.

Hari Santri bukan sekadar seremonial. Ia adalah momentum untuk mengingat bahwa negeri ini masih tegak karena ada mereka, para penjaga ilmu, penjaga adab, dan penjaga iman. Maka biarlah pesantren terus tumbuh, dengan segala kesederhanaannya, karena di sanalah lahir generasi yang menghidupkan nilai-nilai ketuhanan di tengah dunia yang makin bising oleh ambisi.

22 Oktober 2025, ditemani bakwan daun singkong, the real food full nutrisinya

Sekar Wiji ( Member Reli Kab Bekasi)

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
DailyIQ