PKS Bekasi — Di Tambun Utara, nama Ustadz Supianto mungkin tidak sering kita dengar lantangnya dari mimbar-mimbar besar atau baliho besar di pinggir jalan. Namun bagi para kader awal PKS di wilayah ini, sosok beliau adalah pondasi—akar yang menguatkan, ruh yang menggerakkan, dan mata air yang mengalirkan semangat perjuangan.
Beliau memulai dakwahnya dari sebuah sudut kecil bernama Sriamur, jauh sebelum banyak orang mengenal istilah struktur, kaderisasi, ataupun militansi organisasi. Di tempat itu, beliau hadir sebagai pribadi yang tawadhu, sederhana, dan tidak suka tampil. Tetapi siapa pun yang pernah duduk mendengar nasihatnya, tahu bahwa kata-katanya selalu membawa makna yang menembus hati—menuntun, menenangkan, sekaligus menguatkan.
Sosok Sederhana yang Selalu Menginspirasi
Dalam setiap pertemuan, Ustadz Supianto bukan hanya bicara tentang teori dakwah. Ia menunjukkan sendiri bagaimana seorang dai harus hidup: melembutkan laku, merendah dalam tutur, tetapi meninggikan tekad dalam perjuangan. Ia bukan sosok yang suka difoto, bukan pula yang mencari pengakuan. Tetapi tanpa diminta, namanya menjadi inspirasi bagi seluruh kader Tambun Utara—layaknya matahari senja yang hangat, hadir tanpa banyak suara.
Sandal LILI dan Jejak Perjuangan
Dan inspirasi itu mencapai puncaknya dalam perjalanan Longmarch Bekasi–Monas 30 km beberapa waktu lalu.
Di antara peserta yang muda, bugar, dan bersemangat, ada satu sosok yang tampak paling sederhana: Ustadz Supianto. Tanpa sepatu khusus hiking, tanpa peralatan premium seperti peserta lain, beliau melangkah hanya dengan sandal LILI—sandal yang sudah menjadi simbol kehidupan sederhana masyarakat Bekasi.
Bukan hanya beliau mampu menyelesaikan perjalanan berat tersebut, tetapi beliaulah yang justru mencapai Monas lebih dulu daripada banyak peserta muda. Langkah kecil dengan sandal tipis itu menjadi saksi bahwa semangat juang tidak pernah ditentukan oleh usia maupun penampilan—melainkan oleh ketulusan dan kekuatan hati.
Sandal LILI itu kini bukan lagi sekadar alas kaki. Ia berubah menjadi simbol perjuangan. Simbol bahwa dakwah dimulai bukan dari kemewahan, tetapi dari keberanian untuk melangkah. Simbol bahwa seorang pendiri dakwah di Tambun Utara tidak pernah berhenti menunjukkan teladan, bahkan ketika usianya tak lagi muda.
Perjalanan Ustadz Supianto bukan untuk menunjukkan siapa yang paling kuat. Beliau tak pernah ingin menonjol, namun Allah sendiri menampakkan keteladanan itu di hadapan para kader.
Dari langkah sederhana itu, para kader belajar bahwa perjuangan tidak dimulai dari sesuatu yang mahal, tetapi dari hati yang tidak menyerah. Bahwa dakwah bukan soal tampil di depan, tetapi melangkah kecil dengan konsisten. Bahwa keikhlasan mampu melahirkan kekuatan yang melampaui usia.
Jejaknya dari Bekasi ke Monas—beralas sandal LILI—akan terus menjadi kisah yang menginspirasi kader-kader baru.
Karena pahlawan sejati bukan yang berdiri di panggung,
melainkan yang terus melangkah tanpa ingin dikenal.















