Naskah lahir tahun 2021. Dipersembahkan dalam rangka Hari Ayah 2025.
Moga menginspirasi
***
Di penghujung Ramadhan beberapa tahun lalu, seorang lelaki pejuang keluarga yang free line, nafkah tak menentu, kadang ada, kadang tiada, “menceritakan” kisahnya tanpa kata.
Penghasilan hariannya sangat sedikit, tersering tak menghasilkan apapun alias cuma lelah. Seharian berkeliling dari rumah ke rumah mencari dagangan untuk kemudian dijajakan ke sesama teman yang membutuhkan.
Dia bukan pengangguran, karena nyatanya dia bekerja mencari dan menjemput rejeki, keluar rumah berusaha dengan maksimal sesuai kemampuannya.
Tiga hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, ketegangan mulai menyeruak. Tuntutan anak dan istri, dari mulai baju lebaran sampai kebiasaan masak ala lebaran pun terbayang di pelupuk mata.
“Akankah saya bisa dapat uang yang cukup?” ia membatin.
H-3, bergerak dari pagi sampai hampir pagi lagi hanya dapat uang untuk makan hari itu.
H-2, bergerak lagi, hampir sama, bahkan yang didapat lebih sedikit, nyaris hanya berbekas keringat saja.
H-1, ia bertekad lebih pagi dan pulang lebih malam jika belum mendapat sesuai harapan. Dhuha tiba ia sudah berkeliling mencari karunia-Nya melebihi hari biasanya, namun masih nihil.
Dzuhur menyapa, namun yang diharapkan tak jua berjumpa. Ashar tiba, ia semakin lelah karena harapan itu sepertinya tipis saja. Namun ia terus berdoa pada Rabb-nya;
“Yaa Rohman, ijinkan hari ini hamba dapat uang yang cukup untuk anak dan istri esok di Hari Raya ….”
Ada beberapa peluang hari itu yang dia kejar dan perjuangkan, namun hingga pukul 21:00 WIB, hasil tak berbanding dengan harapan, hanya cukup untuk membeli bensin agar motor yang ia pinjam dari saudaranya tetap bisa jalan.
Keringat dingin mulai merembes di sekujur tubuhnya. Kaos oblongnya sampai basah kuyup dengan keringat … ia terjatuh … ia lemas terkulai dan hampir pingsan karena membayangkan wajah anak istrinya esok hari yang tanpa hal wajar di Hari Raya.
“Apa kabar pak? Lagi dimana sekarang?” pesan singkat masuk ke gawainya dari sahabat lama yang sudah tak bertemu sekian tahun.
“Alhamdulillah, Pak, sehat. Saya lagi berjuang, dan alhamdulillah atas semuanya. Saya masih di sudut Bekasi bagian utara, Pak, dari pagi sudah jalan cari rahmat Allah,” balasnya.
“Bisa ke rumah nggak? Kita ngopi, Pak.
Saya kangen udah lama nggak ketemu,” pinta temannya.
“Insya Allah bisa, Pak. Saya meluncur!”
Lelaki itu pun bergegas tancap gas, ia berkejaran dengan indikator bensin yang sudah kedip-kedip tanda mau habis dan bersiap untuk didorong karena bisa jadi akan mogok.
Dalam perjalanan malamnya tersebut, ia membatin kepada Rabb-nya.
“Ya Allah, seharian saya berikhtiar mencari rejeki-Mu berupa uang untuk anak istriku besok merayakan Hari Raya, tapi sampai detik ini belum sepeserpun aku dapatkan. Semoga teman lamaku ini mau membeli daganganku ini, yaa Allah, aamiin.”
Rupanya hari itu ia dapat amanah dari saudaranya untuk bantu menjualkan motor yang dipinjamnya tersebut dengan imbalan jika laku akan diberi komisi sebesar lima ratus ribu rupiah.
“Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalaam …, masuk, Pak.” Temannya menyambut dengan hangat.
“Gimana kabarnya, nih? Udah lama banget kita nggak ketemu ya, Pak.”
“Iya, Pak. Sudah sekitar lima tahunan ya kita baru jumpa lagi,” ucapnya mengenang terakhir berjumpa dengan temannya itu.
Setelah cukup waktu bercengkrama dan basa basi, akhirnya teman tersebut mengungkapkan maksudnya selain melepas kangen.
“Begini, Pak. Saya mau minta tolong sama Bapak. Saya lagi butuh dana besar, mau jual mobil, siapa tau Bapak punya kenalan yang lagi cari mobil. Nanti ada komisi buat Bapak.”
“Oh gitu, ya, Pak. Oke, nanti saya coba tawarkan ke temen-teman saya, Pak. Sebenarnya saya juga mau nawarin motor, nih, Pak. Saudara saya mau jual butuh buat lebaran besok katanya. Mungkin Bapak mau beli?” tuturnya berharap teman lamanya mau membeli dan dia segera dapat komisi 500.000 untuk anak istrinya besok.
“Waduh, Pak, maaf banget, untuk sementara saya belum bisa beli motor saudara Bapak. Sebenarnya sih saya butuh juga buat istri antar jemput anak, tapi momennya belum pas Pak. Mohon maaf ya.”
Walau tetap memaksa tersenyum, ia pun segera pamit.
“Oke, Pak, nggak apa apa, belum rejeki kita berarti ya. Saya pamit ya, Pak, karena sudah malem. Masih harus cari orang lain yang butuh motor saudara saya, sekalian bantu saudara,” pungkasnya, walau sebenarnya dialah yang sangat kritis malam itu butuh dana yang cukup untuk esok hari.
“Terimakasih ya, Pak, sudah menjamu saya, mudah-mudahan kita bisa silaturahim lagi lain waktu.”
“Iya, Pak, sama-sama. Saya minta maaf sudah merepotkan Bapak jauh-jauh datang ke sini, malem-malem juga,” jawab temannya.
“Assalamu’alaikum ….”
“Wa’alaikumussalaam, hati-hati, Pak.”
“Iya Pak, terimakasih.”
Perjalanan dilanjut entah mau kemana lagi ikhtiar selarut itu. Sudah pukul 22 : 30 WIB.
Dalam lamunan di atas motor, lelaki itu hampir lupa jalan pulang. Karena hujan lebat, tetiba saja dia baru sadar bahwa dia sudah tertidur di atas aspal basah dan bau.
Rupanya dia terpeleset dalam kecepatan yang cukup tinggi di samping pasar induk. Ia nyaris pingsan dengan luka menganga di lututnya akibat kecelakaan tersebut.
Menepi di warung pinggir jalan, tetiba gawainya berbunyi.
“Pak, sudah sampe rumah belum?” Rupanya teman yang tadi dikunjunginya yang menelepon.
“Belum, Pak. Saya kecelakaan, Pak, di deket pasar. Tadi melamun dan saya terpeleset karena jalannya becek.”
“Yaa Allah … Bapak nggak kenapa-kenapa?”
“Alhamdulillah, dengkul saya aja nih berdarah. Saya belum bisa lanjut, masih sakit dan nunggu hujan reda, Pak.”
“Oh gitu. Ya sudah, Pak, tunggu hujan reda saja dulu baru lanjut ya, Pak.”
“Iya, Pak, terimakasih.” Menahan sakit lelaki itu merenung dan beristighfar.
Setelah sepuluh menit beristirahat, tiba-tiba ada mobil berhenti di depannya dan pemilik mobil keluar menghampiri. Rupanya temannya yang tadi menelepon menyusul karena khawatir akan lelaki itu.
“Assalamu’alaikum … gimana, Pak, masih sakit?”
“Wa’alaikumussalam, sudah mendingan, Pak. Bapak malah repot-repot datang ke sini, Pak.” Lelaki itu merasa tidak enak hati.
“Nggak apa-apa, Pak, saya khawatir keadaan Bapak.”
“Terimakasih, Pak. Saya sudah nggak apa-apa, Pak, cuma sedikit aja ini sakitnya,” jawab lelaki itu.
“Kalo begitu saya pimit ya, syukur kalau Bapak nggak terlalu parah sakitnya. Assalamu’alaikum.” Temannya pun pergi.
“Wa’alaikumussalam.”
Hujan pun reda, lelaki itu bersiap lanjutkan perjalanan. Kemudian ia membuka plastik hitam titipan dari temannya yang berpesan boleh dibuka kalau dia sudah pergi.
“Masya Allah …,” ucapnya terkejut.
Rupanya di dalam plastik itu, ada uang satu juta rupiah hadiah dari sang teman.
Allah SWT ternyata mengabulkan pintanya dan itu adalah hadiah terindah dari-Nya.
Dia pulang dengan rasa plong bukan main, meski tubuhnya terluka dan basah kuyup dengan bumbu bau air pasar induk, semua tak dirasakan lagi karena berganti dengan bayangan indah anak istri tersenyum di Hari Raya.
Semoga lelaki itu terus bersyukur dan mendapat keberkahan dalam sisa hidupnya.
***
Semoga kita bisa ambil hikmahnya bahwa ikhtiar harus maksimal. Jangan lupa dengan yang Maha Kuasa, karena sesungguhnya rejeki sudah diatur oleh-Nya, tugas kita hanya menjemputnya saja.
Penulis : Maman Suryaman, Member Reli (Relawan Literasi) DPD PKS Kab Beka















