::
DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi -
Website DPD PKS Kabupaten Bekasi
Mengenal PKS

IBUKU MURABBIYAHKU: MENJAGA JIWA ANAK DI TENGAH LUKA ZAMAN

Aku semakin memahami satu hal penting setelah mendampingi banyak anak dan remaja hari ini, luka mental tidak selalu lahir dari peristiwa besar. Ia sering tumbuh dari hal-hal kecil yang berulang, tidak didengar, dibandingkan, diminta kuat sebelum siap, dan dipaksa diam ketika ingin bicara.

Di tengah krisis kesehatan mental anak yang semakin nyata, aku kembali merenungi satu sosok fundamental dalam hidup setiap manusia yaitu ibu. Bukan hanya sebagai pengasuh, tetapi sebagai murabbiyah pendidik jiwa.

Ibuku adalah murabbiyah pertamaku. Ia tidak pernah menyebut dirinya pendidik, tetapi caranya hadir mengajarkanku mengenal emosi sebelum dunia menuntutku menekannya. Ketika aku sedih, ia tidak berkata, “Ah, itu sepele.” Ia duduk, mendengarkan, dan membiarkanku merasa. Dari sanalah aku belajar bahwa perasaan bukan musuh iman, melainkan bagian dari fitrah manusia.

Sejarah Islam mencatat dengan sangat jelas bagaimana pengasuhan seorang ibu mampu melahirkan ketangguhan jiwa dan kejernihan akal. Salah satunya adalah Rabi‘ah ar-Ra’yi, seorang ulama besar Madinah dan guru dari Imam Malik rahimahullah. Sejak kecil, Rabi‘ah hidup dalam pengasuhan ibunya seorang diri. Sang ibu tidak mewariskan kecemasan atas keterbatasan hidup, tetapi menanamkan adab, ketenangan, dan kecintaan pada ilmu.

Ibunya pernah berpesan, “Wahai Rabi‘ah, belajarlah engkau ilmu. Jika engkau telah mempelajarinya, maka amalkanlah dengan adab.” Dari pengasuhan inilah lahir seorang ulama yang dikenal bukan hanya karena ilmunya, tetapi juga karena ketenangan sikap dan kejernihan jiwanya.

Hari ini, ketika aku melihat banyak anak mengalami kecemasan, krisis identitas, bahkan kelelahan mental di usia yang sangat muda, aku sadar,  yang mereka butuhkan bukan sekadar prestasi, tetapi rasa aman. Dan rasa aman pertama itu seharusnya lahir dari rumah dari seorang ibu.

Islam memuliakan ibu bukan tanpa alasan. Rasulullah ﷺ menempatkan ibu tiga kali lebih utama dalam perintah berbakti. Karena di tangan ibulah pembentukan jiwa dimulai. Ibu bukan hanya melahirkan fisik anak, tetapi juga membentuk cara anak memandang dirinya sendiri dan dunia.

Sebagai ibu, aku belajar bahwa menjadi murabbiyah bukan tentang selalu benar, tetapi tentang selalu hadir. Anak-anak tidak butuh ibu yang sempurna, mereka butuh ibu yang mau mendengar tanpa menghakimi, menenangkan tanpa meremehkan, dan membimbing tanpa mematahkan.

Dalam pendampinganku terhadap anak dan remaja, banyak dari mereka yang terluka bukan karena dunia terlalu keras, tetapi karena rumah tidak cukup hangat. Ada anak yang tumbuh dengan nilai agama, tetapi tidak mengenal emosi. Ada yang hafal nasihat, tetapi tidak pernah merasa dipeluk secara batin. Di sinilah peran ibu sebagai murabbiyah diuji, mengajarkan iman yang menenangkan, bukan menekan.

Allah SWT berfirman, “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya.” (QS. Al-Ahqaf: 15). Kebaikan ibu bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga menjaga kesehatan jiwa anak agar tumbuh seimbang antara iman, akal, dan emosi.

Namun satu hal penting yang sering dilupakan, ibu juga manusia. Ia bisa lelah, terluka, dan kehabisan daya. Ibu yang memikul semuanya sendiri tanpa ruang pulih berisiko mewariskan kelelahan itu pada anak-anaknya. Karena itu, menjadi murabbiyah juga berarti berani merawat diri.

Aku belajar bahwa menjaga kesehatan mentalku sebagai ibu adalah bagian dari ibadah. Saat aku belajar mengelola emosi, anakku belajar dari caraku. Saat aku meminta maaf, anakku belajar rendah hati. Saat aku mencari pertolongan, anakku belajar bahwa kuat bukan berarti sendirian.

Generasi tangguh tidak lahir dari tekanan, tetapi dari pendampingan. Tidak tumbuh dari tuntutan berlebihan, tetapi dari teladan yang menenangkan. Anak-anak yang sehat jiwanya adalah mereka yang tumbuh bersama ibu yang memeluk sebelum menasihati, mendengar sebelum mengarahkan, dan mendoakan sebelum menuntut.

Di tengah dunia yang semakin bising dan penuh luka, ibu adalah penjaga sunyi jiwa anak. Murabbiyah yang bekerja tanpa panggung, tetapi dampaknya menentukan masa depan peradaban.

Ibuku adalah murabbiyahku. Dan hari ini, aku berikhtiar menjadi murabbiyah bagi anak-anakku menjaga jiwa mereka agar tetap utuh, beriman, dan berdaya.


Penulis :

Eka Nurbaiti (@Ambu_eka) Cibitung

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
DailyIQ