Di bawah langit yang warnanya mulai memudar, seperti kaos lengan panjang yang dipakainya kini berubah warna jadi kusam. Suyati berdiri di tengah sawah. Angin sore itu tidak membawa kesejukan, hanya membawa aroma lumpur dan keringat yang sudah mengering.
Bagi Suyati, hidup bukan lagi tentang mencari kebahagiaan diri, tapi tentang bagaimana angka-angka di buku tabungan plastik yang ia sembunyikan di bawah kasur terus bertambah. Demi sebuah mimpi bernama “Masa Depan” untuk Ryan, anak angkatnya yang ia sayangi layaknya terlahir dari rahimnya sendiri.
Iklim tak bersahabat, hujan yang datang tak menentu, guruh dan guntur yang meraung-raung mengamuk di angkasa raya tak dihiraukan oleh Suyati. Baginya upah yang di dapat dari buruh menanam padi, menyiangi tanaman, memanen padi dan menjemur gabah dapat mengisi dompet dan piring makan. “Perceraiannya dengan Karto usai konfik biduk rumah tangganya akibat Suyati gagal memberi momongan dan tak setuju Suyati mengadopsi Ryan, baby mungil yang ditinggalkan ibu kandungnya saat melahirkannya. Ayahnya entah kemana, hilang bersama bisingnya kota besar Jakarta. Ia lupa bahwa ada nyawa yang ditinggalkannya”.
Kini Suyati duduk istirahat di bawah pepohonan di pinggir sawah menepi dari teriknya sang raja siang. Angin semilir sesekali menerpa menyibakkan selimut bocah umur 3 tahun yang tengah terlelap tidur beralaskan tikar pandan miliknya. Terkadang Suyati mengajak Ryan ke sawah kalau di rumah tidak mau sama buyut Ginem. Begitu matahari di atas kepala panasnya menusuk kulit, istirahat adalah kemewahan yang tak mampu ia beli. Punggungnya adalah tumpuan yang membungkuk berjam-jam demi rupiah. Lumpur sawah yang masuk disela-sela kuku kaki dan tangannya sudah menjadi identitasnya. Rasa pegal pinggang dan bahunya ia abaikan setiap kali mengingat Ryan yang tak pernah dikandungnya namun rahim hatinya tulus menyayanginya, itulah yang menjadi gunungan semangat Suyati rela menukar bahunya berkarir di kantor yang berkubang lumpur. Ia berangkat setiap pagi saat kabut masih memeluk desa. Tekadnya hanya ingin Ryan tak direndahkan oleh orang lain walaupun lumpur di kakinya tak mampu merancang cita-cita yang ingin dicapai Ryan.
Karir Suyati sebagai buruh tani musiman beralih profesi menjadi pembantu rumah tangga di rumah pak lurah. Pagi hari sudah berjibaku dengan tumpukan baju, gilasan cucian, tumpukan piring kotor, menu masakan hingga lantai harus kinclong glowing. Setiap pulang sekolah, alih-alih manja Ryan selalu menyusul ibunya ke rumah pak lurah, rumah paling mewah di kampugnya. Tak seperti anak-anak pada umumnya yang pulang sekolah langsung main seluncuran di waterboom sungai dekat rumahnya. Ia harus lebih dulu memastikan membantu kerjaan ibunya.
Kini Ryan duduk di bangku SMP kelas 3, nenek satu-satunya sosok yang menjaga Ryan saat ibunya bekerja, meninggal dunia. Bagi Ryan neneknya merupakan pelabuhan tenang saat dunianya gaduh. Kehilangan neneknya membuat Ryan terpuruk, dunianya seakan hancur. Rumah bilik dari anyaman bambu itu kini terasa sepi, tak ada lagi senyum hangat yang menyambutnya saat pulang sekolah. Matanya sembab setiap kali teringat wajah keriput neneknya. Ia belajar menelan kesedihan demi kesedihan tanpa menyalahkan takdir yang menimpanya. Ryan akan mengubah kesedihan dalam hidupnya menjadi bahan bakar untuk belajar lebih semangat agar dapat menukar bahu ibunya menjadi kebanggakan.
Masuk SMA badai kembali menghampiri tanpa permisi. Tubuh ibunya yang dulu tegap sekarang mulai menyusut, wajahnya yang dulu masih kencang sekarang mulai layu, matanya mulai cekung menyala. Ibu didiagnosis diabet. Ryan sudah menyarankan agar ibu berhenti bekerja, biar Ryan yang menggantikan untuk mendapatkan recehan biaya sekolah dan pengobatan ibunya. Tapi, Suyati tak menghiraukan saran putranya, “ Ibu tidak sakit Ryan, ibu semakin kurus hanya karena menukar daging ibu dengan masa depan Ryan”. Ungap Suyati.
Gemblengan mental Ryan tidak kaleng-kaleng, tanpa sepengetahuan ibunya setiap pulang sekolah Ryan menjual rumput-rumput gajah makanan ternak, ikut menjadi kuli pengangkut pasir dan kuli bangunan hingga lulus SMA. Sadar tak ada biaya untuk kuliah, Ryan ambil kuliah di Universitas Terbuka hari Sabtu-minggu sehingga pada hari-hari biasa ia bisa kerja menjadi tukang slep padi dan malam harinya ikut menjadi nelayan di laut. Akhirya tembok besar bangku kuliah berhasil ia tembus. Perjuangan ibunya tidak hanya menjadi cerita sedih melainkan menjadi investasi mental yang membuat Ryan tidak pernah memiliki takut pada badai apapun di masa depannya.
Dunia gelap total, sudah tiga hari tak ada lagi sapaan lembut ibunya, minum pun hanya beberapa tetes sendok. “Bu, tunggu sebentar lagi ya! tunggu Ryan lulus!” bisik Ryan dalam hati sambil membacakan Q.s Yasin di samping tubuh kurus ibunya. “Innalilahi wa inna ilaihi rojiiun”. Yan sudah, ibumu sudah tiada ungkap bude Mus sambil mengusap wajah ibunya. Suyati pulang masih mengenakan daster lusuh yang masih wangi deterjen, wangi perjuangannya selama puluhan tahun. Ryan, ambruk! menangis meraung, menggenggam tangan kasar ibunya. Kenapa ibu pergi sebelum Ryan bisa beliin baju baru?’ Tangis Ryan pecah. “Ryan akan bangkit bu! demi setiap tetesan keringat perjuangan ibu”.
Status sosial mungkin bisa menentukan di mana kita memulai, tapi kasih sayang seorang ibu dan kegigihan seorang anak menentukan di mana kita akan berakhir. “Ryan Adriansyah=Staff Ahli Dinas Sosial Kabupaten Pacitan”.
Penulis
Nunik Dyah Winarni, S.E ( Cibitung)















