::
DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi -
Website DPD PKS Kabupaten Bekasi
Mengenal PKS

Ayah dan Cahaya yang tak Pernah Padam

Jam di dinding co-working space kantorku belum juga menunjukkan pukul empat sore. Laptop masih terbuka, beberapa sampel penelitian belum kukemas, dan kotak makan siang tergeletak di sudut meja. Tapi sebelum hari benar-benar berakhir, sambil menunggu webinar online dari negara sebelah, aku ingin menulis sesuatu tentang Ayah. Tentang lelaki yang diamnya adalah doa, dan lelahnya adalah cinta yang tak pernah meminta balas kata.

Sejujurnya, aku terinspirasi menulis ini setelah membaca tulisan teman-teman yang sejak kemarin ramai menuliskan esai tentang ayah. Setiap kalimat yang kubaca seperti mengetuk sisi paling lembut dari hati, membangunkan kenangan pada sosok yang kini hanya bisa kusapa lewat doa. Maka sore ini, di antara aroma kopi aren dan cahaya lampu yang hangat, aku ingin menulis tentang Pak-e, sebutanku untuk bapak, lelaki tanah Majapahit yang menjadi guru kehidupan dalam diamnya.

Dialah ayah yang begitu dekat denganku, meski bukan dengan banyak kata. Ia berbicara lewat tindakan dengan ketegasan yang melindungi, dan keheningan yang meneduhkan.

Aku masih ingat masa kecil kami. Saat sore-sore menjemput ibu pulang dari sekolah, tidak pernah ia kabulkan aku untuk jajan, atau ketika uang sakuku hanya cukup untuk membeli gorengan satu biji. Ngga pernah lebih, pun harus bawa bekal makan dari rumah. Tapi bapak tak pernah menolak jika aku minta uang untuk kursus, biaya transport keluar kota, atau membeli buku. Ia mengajarkan kami tentang skala prioritas bahwa ilmu adalah tabungan paling berharga, dan cita-cita pantas diperjuangkan meski dalam keterbatasan. Kalian bisa cek sendiri berapa salary Abdi negara dijaman itu. Tapi Allah yang mencukupkan.

Sebagai anak perempuan, aku belajar dari beliau bahwa cinta seorang ayah tidak selalu hadir dengan kelembutan, kadang berbentuk ketegasan. Pernah aku dimarahi, bahkan dipukul, aku lari ketakutan karena kesalahanku memang sangat fatal. Karena keterbatasan pemahaman komunikasi saat itu. Tapi kini aku tahu dan sadar, itulah caranya mendidik beliau yang keras di luar, namun lembut di dalam, beliau seolah faham dengan manajemen resiko. Yang ujungnya adalah memikirkan kebaikan dan kebahagiaan anak-anaknya. Ia ingin anaknya tumbuh teguh, bukan manja. Jangan di tiru untuk gaya keras jaman itu. Karena kalian akan kena undang-undang.

Sebagai pelayan publik, bapak dikenal layyin, lemah lembut tapi berwibawa. Ia bekerja dengan sepenuh hati, totalitas hidup dan bekerja. Tidak hitung waktu, tidak pilih tempat. Tengah malam, waktu libur atau tidak, jika warga memanggilnya, dia akan siap dengan pelayanannya. Banyak yang mencarinya bahkan hingga ke rumah, bukan karena jabatan, tapi karena ketulusannya membantu. Ia tidak pernah memanfaatkan kekuasaan, padahal fasilitas kantornya bisa saja digunakan untuk kenyamanan pribadi dan keluarga. Tapi beliau memilih hidup sederhana. “Hidup ini harus cukup dengan apa yang halal,” katanya. “Kekuasaan itu bukan alat untuk memudahkan diri sendiri, tapi jalan untuk menolong orang lain.” Dari situ aku belajar: menjadi pemimpin bukan soal posisi, tapi soal tanggung jawab dan integritas. Berat.

Lamunanku kembali ketahun 98-an. Masa krisis moneter menjadi salah satu ujian terberat keluarga kami. Tapi bapak justru menjadikannya ruang belajar tentang adaptifitas. Ia mengajarkan kami untuk beradaptasi dengan keadaan tanpa kehilangan harga diri. “Kalau tak bisa hidup seperti biasa, ya hidup lebih sederhana. Tapi jangan berhenti berbuat baik,” katanya. Dari situ aku tahu, kesulitan bukan penghalang untuk tetap berkontribusi; justru di tengah badai, karakter sejati manusia diuji. Ditengah perut kosong, sering berpuasa, beliau masih tetap menjalankan tugas tanpa lelah.

Dan sisi kelaki-lakian bapak, di balik ketegasannya bapak menyimpan juga kelembutan yang mengagumkan. Ia bisa menyiapkan baju untuk ibu, bahkan menyetrikanya sendiri. Berbagi tugas bukan hal yang asing baginya. Dua bulan sebelum beliau berpulang selama-lamanya, bapak masih sempat juga menyiapkan kebaya dan perlengkapan wisudaku serta pelatihan internasional. Aku tak tahu itu akan menjadi kasih terakhirnya. Tapi kini aku mengerti, cinta ayah bukan tentang banyaknya pelukan, melainkan tentang kesediaan menjaga, menyiapkan, dan mendoakan dalam diam. Aku selalu terharu melihatnya, karena di situlah cinta sejati tinggal, pada kesediaan melayani, bukan hanya memimpin. Cmiiw

Bapak juga mengajarkan kami tentang pentingnya mencari ilmu seumur hidup. Saat usianya hampir lima puluhan, beliau baru belajar membaca Iqra. Betapa terbata-batanya ia mengeja huruf hijaiyah, tapi semangatnya tak pernah padam. Setelah pensiun, beliau mengisi hari dengan rutinitas pagi membersihkan rumah, memasak, lalu membaca Al-Qur’an dan shalat dhuha. Setiap Ramadhan, beliau bisa khatam empat hingga lima kali. “Ada yang kurang kalau belum ngaji,” katanya. Padahal dulu, kitab yang akrab dengannya adalah Perjanjian Lama atau Baru, aku tidak paham. Namun dari perjalanan itu aku belajar bahwa hidayah adalah anugerah, dan istiqamah adalah bukti cinta pada Tuhan.
Tapi kehidupannya mencerminkan ketundukan kepada Allah yang luar biasa. Dari beliau aku belajar arti tarbiyah sejati bukan dari banyaknya ceramah yang didengar, tapi dari keteladanan yang diam-diam menumbuhkan iman.

Kini, saat aku menutup laptop dan merapikan meja kerja, terasa seolah aku sedang menatap langit yang sama, langit penuh doa, keikhlasan, dan kasih yang tak pernah pudar.

Selamat Hari Ayah.
Untuk setiap lelaki yang diamnya adalah doa, dan cintanya menjelma dalam kesederhanaan hidupnya.

Dan untuk para lelaki di luar sana entah kalian kini berperan sebagai kakek buyut, kakek, ayah, atau anak laki-laki yang kelak akan menjadi ayah, ingatlah, peranmu adalah amanah suci.
Menjadi ayah bukan sekadar mencari nafkah, tapi menanam nilai. Bukan sekadar kuat di luar, tapi lembut di dalam. Ajarkan anak-anakmu arti kejujuran, kerja keras, dan kasih yang tak bersyarat. Jadilah teladan yang hidup, bukan hanya pengingat lewat kata. Karena suatu hari nanti, saat kita tiada, bukan warisan harta yang akan diingat anak-anak kita, melainkan bagaimana mereka merasa dicintai, dilindungi, dan dibimbing menuju cahaya.

Rabu, 12 November 2025. Diantara air mata yang menggenang di pelupuk mata dan tumpukan paper yang on progress diselesaikan, mohon selipkan doa terbaik bagi yang membaca coretan ini. Do’akan kelancaran dan penyelesaian studiku saat ini. Dan do’akan bapakku, semoga Allah lapangkan kuburnya berilah ampunan dan rahmat kepadanya. Allahumma Aaamiin.

Penulis

Sekar Wiji

Member Reli (Relawan Literasi) Kab Bekasi

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
DailyIQ