Da’i yang ditahan tanpa proses hukum yang jelas, awal tahun 80-an, bersama sekira 60 du’at lain. Pernah, beliau dikurung di sel yang gelap, pengap yang hanya muat untuk berdiri. Makan hingga tidur berdiri. Pun untuk shalat harus berdiri dengan lantunan tilawah dan isyarat.
Pernah, air yang begitu dingin menusuk, sengaja diteteskan dari atap sel tepat ke ubun-ubun beliau. Dan itu terjadi sekitar 6 bulan.
Jatah keluar sel hanya 6 jam/hari untuk buang hajat, berlari pagi dengan dikejar anjing herder.
Tak jarang beliau didudukkan dan diikat di atas meja dan kursi sebelum menerima tendangan. Atau berjalan dengan dengkul di atas kerikil dan pasir besi seukuran kacang hijau yang tampaknya sudah dipanaskan sebelumnya. Kadang diikat menggantung dan dipukuli laiknya sansak hidup. Serta siksaan lainnya.
Guru yang menjual salah satu mobil kesayangan untuk biaya berobat muridnya. Pun dikirim secara sembunyi-sembunyi kepada pihak keluarga. Disertai harapan agar dengan kesembuhannya, ia semakin semangat berdakwah. Walau, pernah sang murid yang amat dicintainya dengan pedas mengkritiknya di depan publik.
Ayah yang tak terima putranya yang kala itu berusia 10 tahun menggibahi sang guru. Hingga diantarlah meminta pemaafan agar tak hilang berkah menadah ilmu.
Sahabat yang kerap menyebut satu nama dalam doanya. Hingga memancing anak beliau bertanya: “Kok bisa sedalam itu cintanya pada Ustadz Rahmat Abdullah, melebihi putra-putri sendiri? Dan jawaban yang terlontar persis seperti kalimat Al Hasan Al Basry:
“Para ikhwan kami lebih kami cintai dari keluarga dan anak-anak kami. Karena keluarga kami mengingatkan kami akan dunia sedangkan ikhwan kami mengingatkan kami akan akhirat”.
Penuntut ilmu yang mentradisikan 4 jam sehari untuk membaca dan menambah porsinya menjadi 6 – 8 jam/hari kala amanah Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera tak lagi di pundak. Pun jelang wafatnya, beliau masih tampak asyik bercengkerama bersama kitab di perpustakaannya.
Perintis pergerakan yang senantiasa enggan disebut “Sang Muassis” seraya meluruskan bahwa beliau hanyalah seorang khadimat (pelayan) dan penyeru ke jalanNya.
2 tahun lalu, 30 Juni 2020, murabbi itu, Allahu yarham K.H. Hilmi Aminuddin, kembali pada Rabbnya.
(Mengenang 2 tahun wafatnya KH. Hilmi Aminuddin. Dinarasikan dari berbagai postingan Facebook putra beliau, KH. Wildan Hakim. Foto : KH. Surya Darma)















