TADZKIRAH JUM’AT
Allah Ta’ala telah menganugerahkan kepada kita lidah yang dengannya kita dapat berbahasa dan berkata-kata. Bahasa dan kata-kata membuat kita bisa saling berhubungan dengan sesama manusia. Ia juga bisa mencerminkan kondisi kejiwaan penutur katanya, apakah ia orang yang lugas, keras, semangat, optimis, pesimis atau apatis.
Kita hidup di bumi Indonesia dengan budaya bahasa yang khas. Bangsa yang memiliki istilah khusus untuk mengungkapkan maksud, perasaan, impian atau melukiskan sesuatu. Misal rumah sakit sedangkan di belahan bumi lain menyebutnya dengan rumah sehat, rumah rawat, mustasyfa dan yang lain dengan hospital. Bangsa ini juga menyebut tiket perjalanan dari suatu kota ke kota lain dengan sebutan pulang pergi. Jika ada orang bertanya, Berapa biaya tiket pulang-pergi..? Kita merenung…belum pergi sudah berfikir pulang. Itulah lidah dan bahasa mencerminkan karakter sebuah bangsa.
Allah Subhana wa ta’ala memerintahkan agar ada kesesuaian antara lidah dengan kemauan hati. Agar kita tidak seperti para munafiqun atau para Yahudi. Allah berfirman :
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَٰكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُونَ إِلَّا قَلِيلًا
“Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): “Dengarlah” sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): “Raa’ina”, dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: “Kami mendengar dan menurut, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami”, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis”.[ QS, An Nisa : 46 ]
Dalam ayat lain Allah menjelaskan :
سَيَقُولُ لَكَ الْمُخَلَّفُونَ مِنَ الْأَعْرَابِ شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا فَاسْتَغْفِرْ لَنَا ۚ يَقُولُونَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ ۚ قُلْ فَمَنْ يَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا إِنْ أَرَادَ بِكُمْ ضَرًّا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ نَفْعًا ۚ بَلْ كَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Orang-orang Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: “Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami”; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu. Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [ QS. Al Fath : 11 ]
Renungkanlah dua ayat tersebut, betapa bahayanya jika ada ketidaksesuaian antara lidah dan kemauan hati, karena kita akan seperti para munafiq dan orang Yahudi.
Kadang kita tak bisa menerima dan melaksanakan tugas-tugas dakwah bukan karena kita tidak bisa. Namun karena tidak ada kemauan hati atau ketidakmauan diri. Lidah mungkin berkata dengan berbagai alasan a,b atau c.
Seorang anggota yang lurus ia akan memiliki “lisana shidiqin” atau lidah kejujuran dan ini adalah harapan mulia dari seorang yang berorientasi selalu pada taqarrub Ilallah. Setiap pelaksanaan amal dan pemanfaatan waktu untuk dakwah baginya adalah sarana meringankan beban hisab kelak di yaumil qiyamah.
Orang yang selalu berorientasi pada taqarrub ilalllah, dan memiliki cita-cita mulia menginginkan pula agar isteri dan anak-anaknya selalu jujur dengan imannya. Karena iman adalah janji setia kepada Allah untuk selalu berjalan di atas jalan yang pernah di tempuh para Nabi, para Shadiqin, Syuhada dan orang-orang shalih.
Inilah doa Nabi Ibrahim alaihis salam yang menggambarkan kejujuran. Allah jelaskan dalam Firmannya :
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” [ QS Ibrahim : 37 ]
Kejujuran menggerakkan lidahnya untuk memohon keturunan yang selalu mendirikan shalat. Doa yang menginginkan keturunannya selalu bertaqarub kepada Allah dengan shalat. Kitapun berharap anak-anak keturunan kita, setelah kejujuran kita bersama dakwah ini kita tunaikan, setelah janji-janji kita beramal bersama dakwah ini kita laksanakan, setelah kerja-kerja dakwah ini telah selesai kita sempurnakan, dan setelah bermohon ampunan pada Allah atas ketidak-maksimalan kita dalam dalam dakwahNya, mereka dapat melanjutkan dakwah ini lalu berkumpul kembali kelak dalam taman-taman syurga. Insya Allah. Sebagaimana firmanNya :
“Dan orang-orang yang beriman serta anak cucu mereka yang mengikutinya dalam keimanan, kami akan kumpulkan (di Surga) bersama anak-cucu mereka” [ QS At-Thuur : 21 ]
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu di dalam taman-taman dan sungai-sungai, di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” [ QS. Al Qamar : 54-55 ]
Wallahu’alam bis showwab.















