Hari ini, 22 Desember, Hari Ibu. Pikiranku melayang kepada sosok ibuku, ibu Musyafaah, yang kini berusia 82 tahun. Usia yang panjang, penuh jejak pengabdian, kesabaran, dan keteguhan iman.
Ibu adalah seorang aktivis di organisasi ‘Aisyiyah. Di sela aktivitas dakwahnya, beliau juga membantu nenek berdagang di toko keluarga. Hidup ibu bukanlah hidup yang dimanjakan oleh kemudahan, tetapi dibentuk oleh kerja keras, tanggung jawab, dan kesungguhan sejak usia muda.
Secara formal, ibu hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyah, setara Sekolah Dasar. Di zaman itu kakekku memang tidak mementingkan pendidikan formal bagi anak perempuannya. Namun, ibu orang yang cerdas dan terus mengembangkan dirinya. Ini tampak dari tulisan tangannya yang indah dan rapi, baik tulisan latin maupun tulisan Arab. Setiap huruf seperti mencerminkan ketekunan dan kecintaannya pada ilmu.
Dalam berorganisasi, ibu sangat teliti. Ibu mencatat semua hasil rapat organisasi dengan detail. Sebagian besar ditulis dengan huruf arab gundul berbahasa Indonesia. Semua buku catatannya disimpan rapi. Tanggal lahir anak, cucu, hingga cicit dicatat lengkap dalam satu buku khusus. Lengkap dengan tanggal hijriyahnya. Tidak ada yang terlewat. Bagi ibu, setiap anggota keluarga adalah amanah yang harus diingat dan dijaga.
Ketelitian itu juga tercermin dari caranya merawat kenangan. Foto-foto keluarga tersimpan rapi dalam puluhan album, dikumpulkan dalam satu lemari khusus. Bahkan di zaman ponsel seperti sekarang, ibu tetap mencetak foto-foto yang dikirim anak cucu lewat WhatsApp. Termasuk juga foto-foto hasil tangkapan layar dari status-status mereka. Semua disimpan, semua dihargai.
Maka setiap Lebaran, ketika pulang kampung, ada satu tempat yang selalu kami rindukan: kamar tempat foto-foto itu tersimpan. Di sanalah kami seperti kembali ke masa lalu. Menyaksikan wajah teduh kakek dan nenek kami yang telah lama tiada, tertawa mencermati foto-foto masa kecil kami yang polos dan lucu, memutar ulang ingatan saat-saat pernikahan kami melalui foto-foto pesta pernikahan yang sangat sederhana, hingga tersenyum haru menyaksikan foto wisuda anak-anak kami—cucu-cucu ibu, dan juga kelucuan foto-foto para cicitnya.
Selain teliti, ibu juga sangat menjaga kerapian dan kebersihan. Prinsip ini disandarkan pada sabda Nabi ﷺ bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Bagi ibu, kebersihan bukan sekadar soal enak dipandang, tetapi bagian dari akhlak dan wujud ketaatan.
Yang paling membekas dalam hidupku adalah kebiasaan ibu setiap selesai shalat Subuh. Dalam suasana pagi yang sunyi, ibu duduk bersama kami—anak-anaknya—mengajari membaca Al-Qur’an. Ibu sangat tegas. Ketegasannya terasa menakutkan. Sering membuat aku dan kakakku menangis karena diminta mengulang-ulang bacaan saat ibu mendengar kesalahan bacaan kami. Aku menangis karena capek dan sedih karena mengecewakan ibu.
Kini, setelah dewasa, aku baru benar-benar memahami makna ketegasan itu. Ketegasan yang lahir dari cinta. Ketegasan yang ingin memastikan anak-anaknya memiliki bekal iman yang kuat. Alhamdulillah, semua itu terbayar. Kami, anak-anaknya, sudah mengkhatamkan Al-Qur’an sejak usia sekolah dasar.
Ketegasan, kerapian, dan ketelitian ibu adalah bagian dari satu watak besar yang sama: rasa tagging jawab dan amanah. Bagi ibu, amanah tidak hanya soal menanamkan iman dan akhlak, tetapi juga menyangkut urusan dunia yang sering dianggap sepele—termasuk harta, catatan, dan kewajiban kepada sesama manusia.
Di usia muda, demi pendidikan anak-anaknya, ibu terpaksa berutang kepada beberapa kerabat. Utang tidak pernah dianggap ringan. Semua dicatat ibu dengan sangat rapi—jumlahnya, kepada siapa, dan untuk keperluan apa.
Catatan itu baru ibu tunjukkan kepada kami ketika kami telah selesai kuliah dan mulai bekerja. Ibu menyampaikannya dengan tenang, bukan untuk minta dibayarkan, tetapi agar kami tahu. Katanya, jika suatu saat beliau meninggal dunia, anak-anaknya tidak mewarisi utang yang tidak diketahui. Bagi ibu, kejelasan urusan utang adalah bagian dari amanah dan tanggung jawab di hadapan Allah.
Suatu ketika, saat kami berbagi uang bulanan sekedarnya kepada ibu, ibu menyampaikan bahwa seluruh utangnya telah lunas. Kalimat itu sederhana, tetapi terasa sangat dalam. Seolah satu fase perjuangan panjang akhirnya ditutup dengan kejujuran dan kehormatan.
Yang lebih mengharukan, dulu ibu banyak berutang demi anak-anaknya, kini—setelah anak-anaknya mandiri—ibu justru banyak berbagi. Membantu keponakan, menolong kerabat, dan meringankan beban siapa saja yang membutuhkan. Seakan roda kehidupan berputar dengan indah: dari tangan yang pernah meminta demi amanah, menjadi tangan yang memberi dengan sepenuh hati.
Dari semua kisah itu, kami perlahan menyadari bahwa hidup ibu adalah rangkaian keteladanan yang utuh. Bukan potongan-potongan kebajikan yang berdiri sendiri, tetapi satu jalan hidup yang konsisten: dari disiplin kecil di rumah, tanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya, kehati-hatian dalam urusan utang, hingga kelapangan hati saat memberi. Semua dijalani tanpa banyak kata, tanpa tuntutan pengakuan, dan tanpa merasa perlu dipuji.
Ibu tidak pernah menulis buku, tidak pernah berdiri di mimbar besar, dan tidak dikenal banyak orang. Tetapi dari tangannya dengan izin Allah, ibu berusaha “menuliskan” karakter anak-anaknya yang mengenal Al-Qur’an, mencintai agama, memahami arti tanggung jawab, kejujuran, dan pentingnya menjaga keluarga.
Selamat Hari Ibu, Ibuku.
Terima kasih atas doa-doa yang tak pernah putus, ketegasan yang menyelamatkan, ketelitian yang mengikat kami sebagai keluarga, dan cinta yang tak pernah menuntut balasan.
Salam dan doa dari anakmu yang terus berusaha tulus mencintaimu.
Penulis:
Choirul Asyhar, ayah dari 4 anak. Datuk dari 4 cucu. Tinggal di Cikarang Baru, mantan buruh pabrik yang kini menekuni pendampingan pola makan sehat dan gaya hidup sehat aktif. Prinsipnya “menua itu kepastian, sehat itu amanah”. Jadi kesehatan harus dijaga sampai Allah menyelesaikan usia kita.”















