Selain para Shahabiyah, aku mempunyai satu perempuan di dunia ini yang patut dijadikan teladan. Beliau adalah istri dari papaku. Ya, beliau adalah ibuku. Seorang perempuan yang melahirkan aku ke dunia ini. Ibuku seorang perempuan tangguh, tegar, sabar, dan juga mandiri. Beliau memang ibu yang “diam” di rumah, tetapi kiprahnya sebagai wanita karir sangat menjunjung kodratnya sebagai ibu dan sekaligus sebagai seorang istri salihah.
Ibuku tidak pernah ke luart rumah sendirian kecuali untuk bekerja yang pastinya sudah mendapat izin dari papa. Ke manapun Ibu ke luar rumah selalu meminta izin pada suami. Tugas di dapur pun dilakukannya dengan maksimal. Pagi-pagi selalu bangun terlebih dahulu dan menu sarapan favorit telah tersedia sebelum kami beraktivitas.
Masyaallah, Ibuku…
Ibuku tidak pernah mengeluh, yang terlihat, berapapun nafkah yang diberikan oleh papa selalu diterimanya dengan legowo tanpa menuntut lebih. Walaupun pendidikan ibu lebih tinggi dari papa, tetapi ibu mengajarkan aku untuk selalu hormat pada suami. Rida Allah terletak pada rida suami, selalu itu yang diucapkan padaku sebagai anak perempuannya yang kelak akan mempunyai suami juga.
Aku pun diajari bagaimana mengelola keuangan agar nafkah yang diterima cukup dan berkah. Ibu juga tidak pernah terlewatkan untuk mengumpulkam sedekah subuh. Jadi, disediakannya celengan khusus untuk ibu bersedekah setelah salat subuh. Biasanya, setiap bulan celengan itu akan dibongkar dan diberikan pada yang membutuhkannya. Terkadang diberikan pada tukang sapu jalanan, tukang parkir, atau pedagang asongan yang sudah lanjut usia. Setiap penarik sampah di perumahan yang dengan rutin mengambil sampah, seringkali jika ibu sedang di rumah, pasti memberikan apa yang bisa dimakan atau minum.
“Kita memberi bukan karena lebih, Dik, tetapi kita berbagi kapan saja di mana saja, dan dengan apa saja. Bayangkan hujan begini tukang sampah yang berbaur dengan sampah, bisa saja segan untuk mampir ke warung makan.” Begitu yang ibu gambarkan kalau sedang memberi pada yang lebih membutuhkan. Intinya, kita berbagi pada yang lebih membutuhkan dan terdekat, bukan sekadar jumlah yang besar.
Aku masih ingat saat aku kecil, ibuku selalu terlihat bahagia dan sabar. Beliau tidak peduli apa yang terjadi. Ibu selalu memiliki senyum terindah di wajahnya, bahkan di saat-saat yang paling sulit sekalipun. Aku sering melihatnya bekerja keras, mengurus rumah, memasak, dan merawat aku, tetapi tidak pernah mengeluh atau menunjukkan kelelahan. Ibu selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah ibadah, makanya akan mengerjakan dengan senang hati. Aku sering bertanya-tanya, bagaimana dia bisa tetap bahagia dan sabar di tengah-tengah kesibukan dan kesulitan hidup? Namun, aku tahu jawabannya: karena ibu memiliki hati yang besar dan cinta yang tulus kepada kami.
Ibuku adalah contoh teladan yang baik bagiku. Dia mengajarkan aku tentang pentingnya kesabaran, kebaikan, dan kebahagiaan. Dia menunjukkan kami bahwa hidup tidak selalu mudah, tetapi kita bisa memilih untuk tetap bahagia, bersyukur, dan hidup sehat. Aku meneladani ibu dalam banyak hal. Aku mencoba untuk selalu bersyukur atas apa yang aku miliki, dan tidak mengeluh ketika menghadapi kesulitan. Aku juga mencoba untuk menjadi lebih sabar dan tidak mudah marah, seperti ibuku.
Tahun-tahun berlalu, dan aku makin menyadari betapa besar pengorbanan ibu untuk kami, keluarga tercintanya. Aku mulai menghargai semua yang dia lakukan, berusaha untuk menjadi anak yang baik, dan membanggakan baginya. Ya, Allah, jaga selalu ibu, di mana pun berada, sehatkan dia, dan jangan sampai hati ibu terluka sedikitpun. Banyak sekali pengorbanan yang tidak mungkin bisa aku balas sampai akhir hayatku.
Sekarang, aku sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri. Aku mencoba untuk meneladani ibu dalam mengurus keluarga dan anak-anak. Aku ingin mereka melihatku sebagai contoh yang baik, seperti ibu dulu. Sampai saat ini di usia yang tak muda lagi ibu masih sama, selalu terlihat bahagia dan sabar. Aku tahu bahwa beliau akan selalu menjadi contoh teladan yang baik bagi kami, dan aku akan selalu berusaha untuk meneladaninya.
Aku merasa sangat beruntung memiliki ibu seperti beliau. Aku berharap bisa menjadi ibu yang sama baiknya seperti beliau sampai anak-anak yang tumbuh dewasa. Dari sekelumit kisah ibuku di atas, aku sematkan predikat “Ibuku Tangguh, Ibuku Salilah”. Ibu selalu menjaga fitrah dan kodratnya sebagai perempuan muslimah.
Terima kasih, Ibu, atas semua yang telah kamu lakukan untuk kami. Aku akan selalu mencintai dan meneladanimu sampai akhir hayat. Selamat Hari Ibu untuk Ibuku Tersayang dan semua perempuan bergelar ibu yang bisa membaca tulisan ini.
Profil Penulis
Purwani Wijayanti, lahir di Cilacap tahun 1977, ibu dengan dua anak, putra dan putri, bekerja di perusahaan swasta di Cikarang. Terjun pertama kali ke dunia literasi dengan mengikuti kelas pelatihan menulis antologi cerita anak dengan judul buku Payung Warna-Warni Seri 1 di Joeragan Artikel pada Februari 2018. Selain berkarya dengan menulis antologi, menjadi penulis konten, pembina PJ Antologi, juga sesekali sebagai dan ghost writer artikel media online. Hobi menulisnya sudah tumbuh sejak SMP. Ada kepuasan batin tersendiri dengan menulis. Keuletannya untuk terus mengasah kemampuan menulis tanpa mengenal putus asa dan lelah membuatnya mendapat julukan Sang Pembelajar Sejati. Penulis dapat dihubungi via surel: wijayantipurwani@gmail.com Facebook : Purwani Wijayanti, dan IG : @yanti_purwani















