Malam yang tidak lagi tenang.
Seorang yang ku sebut Ibu, penuh luka yang tidak bisa lagi disebut luka.
Luka yang meminta menyerah, pada takdir, handphone ku tiba-tiba berdering.
Andai aku tahu, takdir akan mencabut kenikmatan ku bersama Ibu dalam dua hari ke depan.
Tentu aku akan belari secepat-cepatnya, mengejar ketertinggalanku dalam mengurus Ibu yang tidak lagi cantik senyumnya, tidak terlihat lagi rambutnya, menyerah pada beringasnya Cancer Mamae. 2 tahun menjalani hari yang gelap. Tapi wajahnya selalu terang dan tenang.
‘’ Mamah demam tinggi, ini tidak biasa dik,, semua saudara sudah berkumpul, kapan pulang?”.
Pesan sms dari kakak ku menambah pikiran yang sudah berat di malam itu.
Aku hancur. Siapa yang harus ku dahulukan?
Di sisi ku ada dua orang yang sangat butuh perawatanku. Suami dan anak pertamaku yang baru berusia 2 tahun.
Sulit sekali aku pergi. Aku jauh meninggalkan Ibu. Rasanya aku ingin segera sampai ke rumah, memeluk dia yang mengisi hari-hariku dengan doanya.
Satu hari berlalu. Suamiku tidak ada tanda tanda membaik dari sakitnya. Aku pasrah. Aku ikhlas walau pikiranku masih melayang ke sosok yang selalu memenuhi wajahnya dengan keramahan dan kecerian.
Malam berikutnya, aku memastikan kondisi ibuku. Dengan tangan bergetar dan air mata yang sudah kering namun basah lagi. Ibuku mengangkat panggilanku melalui handphonenya. ini sangat aneh. Aku tahu, demam yang membuatnya selalu mengigau rasanya tidak mungkin bisa menjawab panggilan.
‘’Mamah…., maaf,, ‘’. Suaraku bergetar timbul tenggelam.
Ibu yang selalu tahu tentang aku, anak yang gampang menangis, berusaha menjawab perlahan namun terdengar tegas.
“Urus Suami dan Anak yang benar”.
Handphonku jatuh , tanganku berat,dadaku sesak. Aku tidak bisa lagi mendengar kata-kata lainnya..
“Aku ikhlas, aku ridho ya Allah”. Aku membathin dalam tangisan yang pecah tanpa suara.
Terhenti semua, di malam kedua sebelum Allah mengambil ibuku untuk selamanya, itulah percakapan terakhir kami.
Aku merasa ini adalah salah satu pengorbanan demi sebuah tanggung jawab sebagai istri sekaligus ibu.
Kenapa aku begitu rela mengurus seseorang yang baru sebentar bersamaku dibanding mendatangi panggilan ibuku yang seumur hidupnya berjuang untuk aku??.
Itu sebuah pertanyaan yang tidak pernah ku ucapkan. Aku sadar, memang sulit menjadi istri, ibu, sekaligus anak juga saudara di saat kondisi seperti ini. Aku hanya ingin memuliakan Ibuku dengan mejaga kata-katanya, penuh kerelaan melepas aku yang baru saja memulai dunia baru berpredikat sebagai Ibu. Pasti berat juga untuk kamu kan Bu???
”Urus Anak dan Suami yang benar”.
Amanah berat dan bukan menjadi kata-kata terakhir, tapi seperti bayangan yang setiap hari menemaniku. Kini, Aku bisa melewati 12 tahun pertama menjadi Ibu, mengurus titipan-titipannya sama juga dengan merawat Pesan Ibuku. Walaupun tidak jarang aku lupa mengurus diriku. Mengesampingkan kebutuhanku. Tapi dengan pesan itu, Aku harus tetap menjadi seorang Anak. Anak yang sehat tubuh dan fikiran. Anak yang hidup berkecukupan cinta,sayang,dan kebahagiaan.
Ibuku berdiri dengan tubuh tuanya, di depan pagar yang masih kokoh tapi tidak hatiku, begitu rapuh. Ibu, mengantarkanku. Tangan yang menggenggam terasa hangat sekali.
“Jangan takut kekurangan Harta, tapi takutlah jika kekurangan Iman”.
Bisik itu seperti angin yang masuk lembut ke telingaku. Menjadi catatan yang terus mengiringi langkah hidupku. Kata-kata terakhir Ibuku saat aku mengunjunginya dahulu, di rumah yang menjadi saksi betapa bersyukurnya aku menjadi Anak Ibuku. Terimakasih Ibuku, surgamu sudah menunggu.
22-12-2025 Hari untuk ibu. (Zii-1990)
Penulis :
Tanpa nama (Ibu 4 anak)
Alamat: Setu-Kab.Bekasi
Tema Tulisan: Kisah inspiratif dan keteladanan ibu
Gaya Tulisan: Feature















