Awalnya, aku pikir menjadi ayah berarti bekerja keras tanpa kenal lelah. Berangkat pagi sebelum anak bangun, pulang malam saat semua sudah terlelap. Aku yakin, tanggung jawabku memastikan dapur tetap ngebul, rumah tempat berlindung ada, dan uang sekolah anak termasuk jajan terpenuhi, itu sudah lebih dari cukup.
Terus terang aku tak sadar, dalam kesibukan mencari nafkah, aku sedang menjauh dari sesuatu yang jauh lebih berharga, yakni hati anakku sendiri.
Aku teringat, aku tidak hadir saat anakku belajar berjalan. Aku tak sempat mendengar celotehnya yang pertama. Aku absen di hari-hari pentingnya.
Ujian sekolah, pentas seni, bahkan mungkin saat ia menangis karena hal sepele yang hanya butuh pelukan seorang ayah. Aku menukar waktu itu dengan kerja, lembur, berkumpul bersama kerabat dan kegiatan luar rumah yang katanya demi menyambung pergaulan.
Kini, masa depan itu sudah tiba bahkan nyaris terlewat, karena usiaku yang sudah tidak muda dan rambut hitamku mulai ditumbuhi uban.
Hingga disuatu waktu aku mendapati kenyataan, anak laki-lakiku sudah ttumbuh dewasa, dan saat ini sedang berdiri gagah di pelaminan, bersanding dengan pendamping hidupnya.
Di tengah kebahagiaan itu, hatiku terasa hampa.
Entah kenapa.
Ia tampak begitu dekat dengan ibunya, begitu patuh, begitu hangat berbicara dan meminta restu. Sedang padaku, ayahnya, hanya tersenyum sopan, seperti menunaikan kewajiban formal.
“Terima kasih, Yah,” katanya singkat, seolah hubungan kami hanya sebatas garis tanggung jawab, bukan jalinan kasih yang dalam.
Dari situ aku mulai tersadar, aku bukan benar-benar “hadir” sebagai ayah. Aku hanya penyedia kebutuhan, bukan penuntun kehidupan. Aku pikir dengan bekerja keras atau mencukupi kebutuhan kebutuhannya, aku sedang mencintainya.
Padahal kenyataanya, aku sedang kehilangan kesempatan untuk mengenalnya.
Kini, setiap kali aku duduk sendiri atau di ruang sunyi, aku sering bertanya pada diri sendiri, bukan menyesal punya anak, tapi menyesal menjadi ayah.
Aku menyesal karena salah mencintai.
Aku juga menyesal menjadikan waktu bersamanya sebagai sisa, bukan prioritas. Aku menyesal mengira kasih sayang cukup diwakili uang.
Mungkin inilah yang disebut ironi seorang ayah,
mengejar segalanya untuk keluarga, tapi kehilangan keluarga dalam prosesnya.
Dan aku salah.
Seharusnya sebagai seorang ayah sejati bukan hanya bekerja untuk anaknya,
tapi juga berada di sampingnya, menjadi teladan, menjadi sahabat, menjadi rumah besar baginya untuk kembali, bahkan saat dunia sudah memberi segalanya, padanya, pada anakku.
Kini aku tahu, menyesal jadi ayah bukan karena aku punya anak,
tapi karena aku terlambat menyadari betapa berharga waktu bersamanya.
Andaikan waktu bisa diputar ulang.
Untuk hatiku, untuk jiwaku dan untuk ragaku, rsanya, seluruh waktu yang kupunya bersama anakku tak mungkin kusia-siakan demi ‘arti kehadiran ayah buat anaknya’
‘Love and rrespect’ untuk para ayah dan calon ayah dimanapun berada.
Selamat Hari Ayah
sisA
Penulis Siswoyo. Member Reli (Relawan Literasi) DPD PKS Kab Bekasi















