::
DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi - DPD PKS Kabupaten Bekasi -
Website DPD PKS Kabupaten Bekasi
Mengenal PKS

5 Cara Ibu Bertumbuh

Menjadi Ibu ≠ Menarik

Menjadi ibu tidak selalu menjadi jawaban yang tepat bagi seorang perempuan, sekarang.  Belakangan beberapa perempuan menolak menjadi ibu. Miris, ya.

Selama tahun 2023, Badan Pusat Statistik (BPS), menemukan ada 71 ribu perempuan tidak ingin memiliki anak. Rentang usia mereka 15 hingga 49 tahun.Usia produktif, lo. Why?

Ternyata, ada 3 alasan, utama. Pertama, perempuan yang menolak ini, karena mereka sedang menempuh pendidikan S2 atau S3. Kedua, faktor kesulitan ekonomi, ini untuk kalangan pendidikan SMA ke bawah. Ketiga, adalah faktor psikologis. 

Yuk, kita mencermati faktor yang ketiga. Kenapa? Soale, faktor ini mewarnai alasan pertama dan kedua. Ini, juga menjadi trend masalah ibu di era digital.

Jadi, di era digital, ibu lebih rentan mengalami ketertekanan. Mulai dari tuntutan menjadi ibu yang sempurna, merasa kurang ilmu, sampai merasa kehilangan identitas diri.

Menurut data WHO tahun 2015, 10% dari ibu yang hamil dan 13% dari ibu yang baru saja melahirkan mengalami depresi. Angka ini masih dianggap relevan, karena siklus pendataan statistik, biasanya 10 tahunan. Sungguh, kondisi yang memprihatinkan.

Meskipun, siklus pendataan baru, belum dimulai, saya kok merasa ini tidak berubah. Bisa jadi malah bertambah. Mengingat, era digital semakin merambah masuk ke rumah. Tentu, akan menambah angka ketertekanan.

Nilai Ideal ≠ Nilai Realitas

Ketertekanan terjadi karena adanya ketidaksamaan antara nilai ideal dan nilai realitas. Keinginan menjadi ibu yang sempurna, tapi menganggap, diri tidak akan sanggup meraihnya.

Melihat tayangan video atau filem dengan kesempurnaan sebuah keluarga, tapi keluarganya nggak sesempurna itu. Suami di tayangan itu, baik banget, nggak seperti suamiku. Nah, lo. Gawat, kan?

Atau tayangan tentang keluarga sempurna banget, tapi ternyata hancur karena perselingkuhan. Ipar adalah mautlah, rumput tetangga lebih indahlah, suami kembali ke cinta lama. Eh, eh….ini kok jadi ke drakor atau dracin, sih? Hihihi….

Kesenjangan nilai ini, semakin bertambah lebar dengan bumbu-bumbu medsos. Kok bisa?. Iya dong.

Nih, pas filem yang ngehits, “Ipar Adalah Maut” banjir bandang komentar di semua akun medsos. Semua ibu, sibuk. Semua keluar, membawa amunisinya. Sesuai yang mereka punya. Ada yang menyinyiri nggak selesai-selesai. Menyinyiri, itu bahasa mana?

Ada yang tetiba menjadi bijaksana, sambil menunda masak. Bahkan ada yang sekedar menjadi penonton yang menenggelamkan diri dengan senyum-senyum sendiri.

Kesenjangan nilai menjadi tidak selesai. Konsentrasi terpecah sudah. Emosi yang mestinya tidak ada, menjadi ada dan hadir di rumah.

Tontonan tersebut, berhasil menghadirkan beban psikologis baru yang tidak diundang. Suami lempeng-lempeng aja, jadi merasa perlu dinasehati. Adik perempuan, yang gak ada niatan mau tinggal bareng, menjadi dicurigai dan diwanti-wanti. Posesif brutal. Hihihi.

Saya hanya ingin menyampaikan, bahwa kesenjangan nilai ini seharusnya tidak ada. Sebagai ibu, kita tidak perlu membuat jurang.

Ibu Bertumbuh

Ibu tidak pernah dituntut untuk sempurna. Anak tidak butuh ibu yang selalu benar. Tetapi ibu yang selalu bertumbuh. Bertumbuh melalui pengalaman, tantangan dan pembelajaran. Bertumbuh menuju versi terbaiknya. Pasti, mau nanya gimana caranya? Yuk kita kupas!

1. Al-Qur’an Bercerita Ketidaksempurnaan Ibu.

Ada dua sosok ibu mulia, yang diceritakan Al-Qur’an. Keduanya, mengalami perasaan sebagaimana yang ibu lain pernah merasakan. Mengeluh, galau bahkan kekosongan, kemasygulan. Tentu dengan derajat yang jauh di atas kita.

Coba kamu membaca, kisah Maryam perempuan suci. Maryam pernah mengeluh. Ini ayatnya, Qur’an surat Maryam, ayat 23.

Satu lagi, membaca surat Al Qasas ayat 10. Ibunda Nabi Musa Alaihissalam, pernah merasa masygul, sampai ingin sekali berterus terang pada kaumnya, untuk memberitahu bahwa bayinya masuk pekarangan istana Fir’aun, bantu dong. Padahal itu rahasianya dengan Allah Subhana wata’ala.

Dua kisah ini menjadi pelajaran bagi para ibu. Menjadi ibu bukan berarti, tidak boleh mengeluh, menggalau, merasa kosong dan hampa. Hanya saja, perlu diregulasi, perlu diubah menjadi energi.

2. Jangan memusuhi rasa gelisah

Gelisah, galau bukan tanda kerapuhan jiwa. Bukan tanda kelemahan ibu. Tapi, hal ini justru lahir dari rasa peduli. Gelisah, galau dan sejenisnya bisa jadi tanda cinta yang sedang mencari bentuknya.

So, terima saja. Validasi perasaan itu. Sambil hati kita menguatkan, dengan narasi penguatan. Misal :

“Oke, kamu resah gelisah. Kamu boleh belum menemukan solusi, tapi kamu sedang berjalan ke sana”.

3. Tenangkan diri sebelum menenangkan anak.

Anak belajar bukan dari panjangnya nasehat. Ia belajar dari suasana hati ibunya. Sebagai contoh, saat ibu memilih untuk menata nafas, anak belajar rasa aman. Coba deh, tarik nafas dalam-dalam, tahan sebentar. Lalu hembuskan dengan lembut, perlahan.

Ini tehnik umum yang biasa diajarkan para praktisi pendidikan anak. Jangan disembur ya! Apalagi menyembur ke anak. Hehehe.

4. Jangan mewariskan lelah.

Terkadang, kelelahan membutuhkan tempat untuk mengadu. Butuh tempat, meluapkan segala rasa capek.

Maunya ke orang yang bisa membesarkan hati. Suami? Belum tentu, kadang malah menjadi tambah lelah. Ke teman? Belum tentu hilang juga. Hmm..Ini kayaknya, tipe ibu yang penuh, curiga deh. Ups.

Satu pesan saya jangan ke anak ya. Lelah ibu tidak perlu jadi beban anak. Mengadulah pada Allah Subhana wata’ala. Lebih aman dan menenangkan. .

..Alaa bidzikrillah tathmainnul qulub..

Atau ditambah dengan menulis. Banyak pendapat, mengatakan menulis itu, menjadi cara melepaskan emosi.

5. Bertumbuh bersama anak.

Anak membutuhkan ibu yang mau belajar. Jatuh bangun ibu untuk meraih versi terbaiknya, menjadi tayangan hidup yang mengharukan. Bertumbuh bersama anak, akan menghapus segala tuntutan. Tuntutan untuk menjadi sempurna, khususnya.

Saat seorang bisa memaafkan anaknya, menerima anak apapun keadaannya, disitu anak sudah menemukan. Menemukan sosok teladan.


Fatmah Hanum, lulusan S1 Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah, Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Shalahuddin Al Ayyubi (2000), Jakarta Utara. Sempat mengikuti Kursus Bahasa Arab sampai level 3, di Lembaga Kursus Bahasa Arab Al Manar, Utan Kayu, Jakarta Timur (2000).

Pengalaman Kerja:

Kepala Sekolah TKIT Qonita, Cikarang Timur, Kab Bekasi (2006-2008)

Kepala Program PGTK MMA, Bekasi Timur, Kota Bekasi ( 2009-2011)

Kepala Sekolah Auladi Islamic Preschool, Delta Mas, Kab Bekasi (2011-2014

Anggota DPRD Kabupaten Bekasi (2014-2024)

Buku:

Kartini Legislasi (2018): buku kumpulan cerita dari dewan perempuan Partai Keadilan Sejahtera, di seluruh Indonesia, karya antologi bersama

Menolak Rapuh (2024): kumpulan cerita penulis perempuan yang tergabung di dalam Sekolah Perempuan, pimpinan Ibu Indari Mastuti, karya antologi bersama.

Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com
DailyIQ