Di antara wajah-wajah yang pernah mewarnai hari-hari di DPD PKS Kabupaten Bekasi, ada satu sosok yang kini hanya tinggal dalam kenangan, namun jejaknya masih terasa hangat di hati banyak orang. Dialah Cahyadi, atau akrab disapa Bang Cangli — sosok bersahaja dengan senyum yang tak pernah absen, bahkan di hari-hari paling sulit sekalipun.
Bagi sebagian orang, Cangli adalah teman seperjuangan; bagi yang lain, ia guru kehidupan. Ustaz Tri Winarto menyebutnya sebagai “suluh yang tak pernah padam,” seorang yang selalu hidup dalam semangat perjuangan, terutama saat berbicara tentang Palestina — isu yang membuat matanya menyala dan suaranya bergetar penuh empati. Ia tak hanya berbicara tentang kepedulian, tapi menjadikannya laku hidup.
Bagi Oki, Cahyadi bukan sekadar sahabat, melainkan “guru sejarah pribadi.” Ia adalah perpustakaan berjalan, tempat bertanya tentang politik, sejarah Islam, hingga kisah dakwah masa lalu yang selalu dihidupkannya dengan penuh makna. “Diskusi dengannya tak pernah kering,” kenang Oki. “Ia selalu punya pandangan baru yang membuat saya belajar dan merenung.”
Namun di balik sosok yang cerdas dan kritis, ada sisi lembut yang membuat siapa pun betah di dekatnya. Budi Purwanto mengenang Cahyadi sebagai sosok yang ringan tangan dan selalu mengingatkan rekan-rekannya untuk shalat berjamaah. “Sudah azan, sholat dulu yuk,” begitu katanya setiap kali waktu shalat tiba. Ia juga dikenal suka mendengarkan murottal atau menonton ceramah di sela tugasnya, menjadikan suasana kantor penuh nuansa religius.
Bagi Dewi Fitri Lestari, Cahyadi adalah sosok yang periang dan gemar membantu. Ia sering menjadi fotografer dadakan untuk kegiatan para kader perempuan di kantor DPD. “Hasil fotonya selalu bagus, sesuai permintaan kami,” ujar Dewi. Meski sakit selama berbulan-bulan dan harus bolak-balik rumah sakit, semangatnya tak pernah pudar. Saat dijenguk, ia masih sempat berujar lirih, “Nanti saya siap mengawal Pak Ketua.” Ucapan itu menjadi kalimat terakhir yang Dewi dengar darinya.
Kisah Emak Sri Suharni pun menambah sisi haru yang mendalam. Ia mengenang percakapan terakhir dengan Cangli — saat sang sahabat mengatakan harus istirahat karena sakit. “Selamat jalan, Cang. Rumah lu udah jadi, tapi elu malah pergi. Memilih rumah yang Allah sediain buat elu di surga,” tulisnya pilu.
Cerita duka juga datang dari Holil Sumarna, salah seorang tim Humas DPD yang kini bertugas di Komdigi. Ia menyimpan kenangan sederhana namun membekas. “Di rumah saya ada samsak tinju besar yang sudah tidak terpakai. Saya sempat cerita ke Bang Cangli, dan dia langsung bilang: ‘Taruh aja di DPD, nanti kita latihan bareng,’” tutur Holil dengan mata berkaca. “Saya setuju, tapi sampai beliau sakit dan wafat, samsak itu belum sempat saya kirim. Itu yang saya sesali sampai sekarang.”
Kenangan akan keramahan dan ketulusan Cahyadi juga diungkapkan oleh Rika Pebrika. “Pak Cangli tuh selalu ramah menyambut ketika kami datang berkegiatan di DPD dan sigap membantu jika ada yang kami butuhkan. Ramah dan helpful, riang dengan senyumnya yang khas dan komunikasi yang luwes,” kenangnya. “Ketika sakit, kami sempat menjenguknya di rumah, dan meski lemah, beliau masih mengenali kami dan menyapa dengan menyebut nama.”
Begitulah Cahyadi dikenang: ramah, ringan tangan, cerdas, dan berhati putih. Rambutnya yang memutih bukan hanya tanda usia, tapi cermin tanggung jawab besar sebagai kepala keluarga dan pejuang dakwah. Kini, langkahnya tak lagi terdengar di masjid atau kantor tempatnya biasa menebar senyum. Tapi semangatnya, doanya, dan teladannya tetap hidup di hati mereka yang pernah mengenalnya.
Selamat jalan, Bang Cangli.
Semoga senyummu menjadi syafaat, ilmumu menjadi amal jariyah, dan segala kebaikanmu menjadi cahaya yang tak pernah padam di sisi Allah SWT.
Al-Fatihah.
Dirangkum Oleh Redaksi : KHS
